Sunday 15 May 2011

Membingkai Kembali Signifikasi Peran Pers Indonesia


 
Sejarah Monumen Pers dimulai ketika ibukota negara, Jakarta, terpaksa harus dipindahkan ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Poros pergerakan pun berpindah mengikuti pergerakan letak ibu kota negara. Solo yang letaknya cukup dekat dengan Yogyakarta menjadi salah satu kota lokasi perpindahan poros pergerakan.
Adalah beberapa wartawan seperti Soemanang, Soedarjo Tjokrosisworo, BM. Diah dan rekan-relannya akhirnya mempunyai gagasan baru untuk mendirikan sebuah wadah yang lebih merangkul semua wartawan di Indonesia. inisiatif ini muncul karena organisasi wartawan sebelumnya, Persatuan Djurnalistik Indonesia (Perdi), tidak lagi aktif sejak kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.
Mereka pun kemudian melakukan kongres yang di Solo, tepatnya di Gedung Sositer Sasono Suko, Mangkunegaran. Di dalam kongres ini, disepakati pembentukan kembali organisasi baru yang mewadahi seluruh wartawan di Indonesia. Organisasi baru tersebut resmi terbentuk pada tanggal 9 Februari 1946 dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia. Tanggal tersebut kemudian secara resmi dipakai sebagai Hari Pers Nasional.
Gedung Sositet Sasono Soko yang digunakan untuk kongres Persatuan Wartawan Indonesia pernah juga dipakai untuk deklarasi pendirian radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) tanggal 1 April 1933 atas inisiasi KGPAA Sri Mangkunegara VII. Gedung Sositet Sasono Soko yang diarsiteki Mas Abu Kasan Atmodirono pun akhirnya difungsikan sebagai Monumen Pers Nasional pada tahun 1978. Peresmian gedung monumen ini baru dilakukan oleh Presiden RI saat itu, Soeharto, pada tanggal 9 Februari 1978 sebagai peringatan perjuangan pers di Indonesia,  meskipun sebenarnya di zaman Soeharto pers justru dikebiri.
Monumen Pers memiliki tiga unit gedung permanen dengan satu tingkat pada bangunan induk. Fungsi sebagai gedung dan monumen Pers tentu membuatnya menyimpan berbagai koleksi benda bersejarah yang berkaitan dengan dunia jurnalistik dan komunikas zaman dulu. Di sana terdapat mesin ketik, kamera, alat cetak, foto, koran, majalah kuno, dan lain-lain
Salah satu benda koleksinya antara lain mesin ketik milik Perintis Pers Bapak Bakrie Soeriatmadja, ada juga pakaian wartawan TVRI, Hendro Subroto, yang tertembak ketika meliput integrasi Timor Timur tahun 1975. Museum Pers pun memiliki Plat Maker terbitan perdana Harian Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 September 1945. Di Museum Pers disimpan pula Pemancar Radio Kambing yang dipergunakan pada masa revolusi fisik. Pemancar tersebut dinamai kambing karena dipasang di dekat kandang kambing. Juga terdapat koran-koran dan majalah kuno antara lain: Panorama Perpustakaan Monumen Pers Nasional terbit tahun 1917, Tjahaja India terbit tahun 1913, Hokiao terbit tahun 1925, Sinpo terbit tahun 1929.
Selain itu, dewasa ini sesuai dengan fungsinya, monumen Pers Nasional Solo setiap hari tentulah selalu menerima kiriman berupa koran Harian, pekanan, majalah dari Bulletin dari penerbitan surat kabar. Untuk menangani hal tersebut, pihak  manajemen Monumen Pers membuat seksi Laboratorium dan Dokumentasi. Seksi tersebut bertugas untuk mengarsip dan merapikan semua media cetak yang datang agar mudah diakses oleh siapapun.
Pengelolaan Monumen Pers Nasional Solo beserta segala isinya pada awalnya ditangani oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional dengan Depertemen Penerangan R.I. sebagai instansi penanggung jawab. Akan tetapi, pascareformasi, Departemen Penerangan dilikuidasi dan Monumen Pers Nasional digabung dalam Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, BIKN, pada tahun 1999. Kemudian pada zaman Megawati terbit kembali SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 151/M.PAN tanggal 6 Juni 2002, Monumen Pers Nasional dijadikan sebagai UPT Lembaga Informasi Nasional. Hingga terakhir pada tahun 2005, Museum Pers ditetapkan sebagai satuan kerja dibawah Departemen Komunikasi dan Informatika yang kini dikepalai oleh Tifatul Sembiring.
Di Monumen Pers pula dapat dijumpai ribuan buku yang tersimpan sangat rapi di ruang perpustakaan. Perpustakaan Monumen Pers Nasional telah mengkoleksi 13.000 judul pustaka bahkan lebih. Hingga saat ini Perpustakaan Monumen Pers Nasional telah memiliki lebih dari 3500 anggota yang terdiri dari berbagai status masyarakat. Para anggota perpustakaan umumnya terdiri dari pelajar, mahasiswa, dosen, dan peneliti.
Hingga saat ini Monumen Pers Nasional memiliki lebih dari satu juta eksemplar media cetak (koran, majalah, buletin) yang terbit dari seluruh Indonesia sejak jaman sebelum kemerdekaan RI. Dokumen-dokumen tersebut telah didokumentasi dan dikonservasi sehingga para pelajar, mahasiswa, dosen, peneliti maupun masyarakat umum dapat melihat dan membaca dokumentasi yang tersimpan.
Dalam perjalanannya, Monumen Pers pihak manajemen terus berusaha untuk melakukan digitalisasi surat kabar untuk mengawetkan konten media cetak yang telah terkoleksi di Museum. Sampai saat ini terdapat 400.000 halaman yang terdigitalisasi. Sebuah usaha yang harus diapresiasi karena tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang remeh. Selain digitalisasi, salah satu cara manual pengawetan adalah dengan menggunakan kapur barus, penyesuaian suhu dengan AC, dan Fungidasi (pengasapan). 
Untuk penutup, bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai jasa pahlawannya. Salah satu penggalan quote Soekarno yang paling terkenal hingga hari ini. di Lokananta dan Museum pers sekali lagi kita melihat jejak heroik para penggiat pers di awal-awal kemerdekaan. Kebebasan pers yang hari ini kita rasakan tentu saja bukan sebuah hadiah gratis dari Allah kepada bangsa Indonesia. ada sebuah perjuangan dan tetesan keringat yang dikobarkan untuk saat ini dan besok. 

daftar situs referensi
http://bit.ly/imj0lh
http://bit.ly/lrxmk3

No comments:

Post a Comment