Thursday 28 April 2011

Teladan Idealisme

Rosihan Anwar

Salah satu tokoh pers paling fenomenal milik bangsa Indonesia baru saja pergi meninggalkan kita semua. Pertengahan April lalu, Rosihan Anwar wafat di usianya yang telah mencapai 89 tahun. Hampir 9 dekade sudah beliau hidup di semua era yang dijalani bangsa ini. Karena hal tersebut, Rosihan Anwar sempat dijuluki A footnote of History Indonesia.
Rosihan Anwar dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat 10 Mei 1922. Dia dilahirkan sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara. Jabatan Bapaknya, Anwar Maharaja Sutan, adalah seorang demang di Lembang Jaya, Solok, Sumatera Barat. Demang berarti sebuah jabatan administratif setingkat camat pada zaman Belanda.
Rosihan yang Lahir di zaman pascapolitik etis membuatnya memiliki riwayat pendidikan yang cukup baik pada zaman itu. setelah lulus dari HIS di Padang pada tahun 1935, ia melanjutkan ke MULO di kota yang sama dan lulus pada tahun 1939. Setelah lulus dari MULO, Rosihan Anwar pergi merantau, seperti layaknya kebanyakan orang minang, untuk melanjutkan sekolah di luar tanah minang. Beliau memilihYogyakarta sebagai tanah perantauan dan melanjutkan sekolah AMS-A II. Hingga pada  akhirnya beliau lulus pada tahun 1942.  
Selepas lulus dari AMS-A II, Rosihan muda juga menuntut ilmu di luar negeri. Pertama dia mengikuti drama workshop di Yale University (1950) dan School of Journalism di Columbia University (1954) New York, Amerika serikat. Dari riwayat pendidikannya kita bisa melihat minat dirinya yang sangat besar untuk menjadi wartawan.
Kariernya dimulai ketika dia memutuskan untuk bekerja di Harian Merdeka milik B.M Diah. Harian tersebut pertama kali terbit pada tanggal 8 Oktober 1945. Akan tetapi, karena berkonflik dengan pemilik Harian Merdeka, Rosihan Anwar keluar dari sana dan mendirikan Harian Baru bernama Pedoman pada tahun 1947. Harian yang ia rintis bersama kedua temannya, Soedjatmoko dan Sandjoto, bertahan selama tiga belas tahun. Hingga pada akhirnya Harian ini diberhentikan oleh pemerintahan Orde Lama dikarenakan keberanian Pedoman meliput skandal pernikahan Soekarno-Hartini. Skandal ini menjadi sangat panas karena mendapat banyak perhatian dari organisasi perempuan. Untunglah Rosihan Anwar masih punya majalah pekanan Siasat yang mampu menopang kehidupannya.
Pascakeruntuhan Orde Lama, harapan untuk menerbitkan kembali Pedoman kembali terbit. Setelah terbit, kemunculan kembali Pedoman tetap banyak dicurigai oleh banyak pihak khususnya sisa-sisa antek Soekarno. Hingga pada akhirnya pun kelugasan sikap yang dimiliki Rosihan Anwar kembali harus membuat Pedoman ditutup oleh rezim Soeharto. Kali ini lewat kasus Malari Soerharto menganggap Rosihan Anwar dan majalah bersikap pro dan langsung memerintahkan Pedoman untuk dipateni[1].
                                            http://dyhary.files.wordpress.com/2008/04/rosihan.jpg
Setelah Pedoman benar-benar tidak diizinkan terbit oleh pemerintahan otoriter Soeharto, Rosihan masih tetap menulis banyak buku tentang pers, sejarah, dan politik. Ada sebuah teladan luar biasa yang dipertontonkan kepada khalayak masyarakat pada perjalanan kisah hidupnya. Khususnya tentang cerita jatuh bangun Harian Pedoman yang belau dirikan. Ada idealisme dan kekukuhan bersikap terhadap sesuatu yang diyakini memang benar. Ketidakgentaran menghadapi pemimpin bangsa yang dzolim terhadap diri dan karyanya.
Bahkan kemudian tekanan yang diberikan kepada dirinya tidak lantas membuat Rosihan Anwar berhenti di tempat. Beliau pun tetap menulis walau dengan bentuk yang berbeda. Hingga akhir hayatnya Rosihan Anwar sudah menulis 21 buku dan ratusan artikel di hampir semua media massa cetak dalam negeri dan beberapa milik asing.
Selamat jalan pak Ros! Terima kasih atas segalanya!


[1] Dimatikan/dibunuh

Tuesday 12 April 2011

Dewi kini telah tiada


Di salah satu sore kota Yogyakarta yang damai itu, kami dikejutkan meninggalnya salah satu pasien RSUP Dr. Sardjito karena penyakit Anemia Aplastik-nya. Anemia Aplastik adalah penyakit yang membuat sum-sum tulang penderita tidak lagi mampu memproduksi semua jenis darah yang dibutuhkan tubuh. Hidup seorang penderita Anemia Aplastik memang selalu bergantung kepada darah orang lain yang didonorkan darah kepada dirinya.



Nama pasien tersebut adalah Dewi Sulistyani. Umurnya masih sangat muda, lima belas tahun, dan kini berstatus sebagai murid kelas sepuluh sekolah menengah atas di kota Banjarnegara. Di usianya yang masih sangat belia, ia harus berjibaku dengan tubuhnya sendiri yang tidak lagi mampu memproduksi darah bagi kelangsungan hidupnya. Takdir tak bisa ditolak, ia pun harus berbaring di rumah sakit karena kondisi kesehatannya semakin menurun.



Menurut penuturan orang tuanya, Dewi sudah 2 pekan lebih berada di RSUP Dr. Sardjito dan total telah meminta lebih dari lima puluh kantung darah. OSKA sebagai salah satu rekanan tim dokter bangsal anak di RSUP Dr. Sardjito telah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan darahnya selama dua pekan tersebut. Satu hal yang menjadi hambatan pencarian donor untuk Dewi adalah fakta bahwa dirinya bergolongan darah AB. OSKA memang tidak selalu mampu memenuhi permintaan darah untuk Dewi yang selalu sepuluh kantong setiap permintaan. Terkadang terpenuhi semua dan ada pula saat kami hanya mampu mendatangkan lima pendonor dr permintaan sepuluh kantong darah AB.



Mencarikan donor tanpa kita mengenal si pasien yang kita carikan donornya memang aneh. Tapi hal itu lah yang OSKA lakoni. OSKA mendapatkan info tentang kebutuhan darah pasien hanya dari tim dokter dari bangsal anak yang menangani pasien yang membutuhkan donor seperti Dewi. Walaupun, sebenarnya OSKA pun sesekali menyempatkan diri untuk menjenguk pasien yang sedang dibantukan pencarian donornya.

Selain itu, dinamika pencarian donor itu memang sangat dinamis. Karena soal donor juga berarti soal nilai humanisme yang ada pada diri setiap manusia. Hanya dengan sms yang kami kirimkan ke teman yang ada di phonebook, teman-teman tidak segan untuk minimal membantu menyebarkan sms itu. Bahkan dengan kecanggihan broadcast message yang dimiliki salah satu smartphone, sms itu kemudian menyebar ke luar kota hingga luar pulau. Percaya atau tidak permintaan untuk mendonorkan darah sangat massif datang dari Jakarta, Bandung, Lampung, Balikpapan, Surabaya, Malang, Semarang, dll. Animo ini mengindikasikan bahwa apapun yang berkenaan dengan nilai kemanusiaan itu tak mengenal batasan tempat.




Walaupun pada perjalanan kegiatan ini, tidak jarang kami pun dicurigai melakukan bisnis gelap jual beli darah. Sebuah kegiatan yang mungkin sedang marak dilakukan sehingga kami pun ikut dicurigai berbuat demikian. Untunglah ketika kami coba jelaskan duduk permasalahannya mereka mau mengerti dan mau ikut mendonorkan darahya. Terkadang, sebagai balas jasa pencarian donor kami, keluarga pasien mencoba memberikan lembaran-lembaran biru kepada OSKA. Akan tetapi, sebagai organisasi sosial kami harus menolak secara halus todongan lembaran biru tersebut. Dokter yang sedang piket pun membantu menjelaskan bahwa OSKA tidak menerima uang karena motivasi organisasi ini adalah menolong bukan mencari uang.

Hingga akhirnya Perjuangan Dewi pun harus berakhir ketika takdir telah meminta ruhnya untuk kembali ke haribaan sang Pencipta. Setelah sedemikian kasus pendarahan yang tak kunjung berhenti di tubuh dewi. Pendarahan usus yang tidak bisa dihentikan dan mimisannya yang tak kunjung berhenti membuat kondisi Dewi semakin hari semakin lemah. Keping darah khususnya yang diproduksi untuk melakukan pembekuan darah tidak lagi dimiliki Dewi. Itu menjadi salah satu alasan mengapa kondisi Dewi terus menerus memburuk. salah satu cara untuk mengatasi mimisannya, hidung dewi harus ditutup oleh kapas dan perban. Untuk duduk pun dia tidak mampu, tubuhnya sudah demikian lemah. Saking lamanya dia dirawat di rumah sakit pun membuat selang infusnya tidak lagi berada di tangan tapi di punggung kakinya.


Hingga akhirnya berita duka itu pun meluncur dari sms salah satu dokter kepada kami. Ya Allah berikan dia pengampunan-Mu dan tempatkan Dewi di tempat terbaik menurut-Mu. Semoga keluarga Dewi diberikan ketabahan dan keringanan menghadapi kepergian anaknya.


 

Ps: dalam sepekan terkahir hingga tulisan ini dibuat, ada tiga orang anak yang meninggal termasuk Dewi. Semoga diberikan keberkahan di sisa hidup mereka.

Saturday 9 April 2011

Jejak Sejarah Majalah Indonesia

Ada banyak versi kapan pertama kalinya pers dalam bentuk majalah muncul untuk pertama kalinya dalam konteks keIndonesiaan. Menurut Ahmad Husein, seorang penulis dan pemerhati media, karya jurnalistik pertama dikeluarkan oleh kelompok Indische Bond yang bernama Bondsblad. Majalah Indische Bond tersebut digunakan untuk menyuarakan kritik atas kebijakan politik yang dilancarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Majalah tersebut tentu bersaing dengan banyak pers milik pemerintahan kolonial Belanda saat itu. karena tentu saja pers kolonial sudah berkembang lebih dahulu dari pers lokal. Belanda lewat kongsi dagangnya, VOC, pertama kali membawa mesin cetak ciptaan Guttenberg pada abad 17. Mesin cetak tersebut pada awalnya digunakan secara ekslusif untuk kepentingan VOC. Baru pada abad 18 mesin cetak diperbolehkan untuk digunakan dalam kegiatan pers.
Bondsblad sebenarnya tidak cukup dikenal sebagai pelopor pers Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Dalam banyak literatur, kita akan banyak temukan bahwa pers lokal pertama saat itu adalah Medan Prijaji yang didirikan oleh RM Titro Adhi Soejo pada tahun 1907. Medan Prijaji adalah sebuah hasil dari pengalaman Tirto bekerja di salah satu surat kabar kolonial berbahasa melayu Pembrita Betawi.
Pada awal abad dua puluh, bentuk media cetak sangat identik dengan koran, tetapi dalam sirkulasinya masih berkala seperti majalah. Hal ini bisa kita maklumi karena keadaan politik dan kemajuan teknologi tidak sekondusif dan semaju sekarang. Akan tetapi, hal ini mempersulit kita untuk melakukan identifikasi jenis media spesifiknya. Setidaknya, kita bisa simpulkan di Indonesia majalah dan surat kabar memiliki jejak pers yang sama. Diferensiasi majalah dan surat kabar baru bisa terlihat jelas setelah kemerdekaan Indonesia.
Douwess Dekker kita kenal sebagai salah satu pendiri surat kabar legendaris, De Expres. Kita semua tahu bahwa De Express adalah media massa rintisan kelompok Indische Partij yang digawangi oleh Douwes Dekker, Suwardi Soerjadiningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sebenarnya, Douwes Dekker Sebelum menerbitkan De Express terlebih dahulu menerbitkan majalah dwi mingguan Het tajdeschrift pada tahun 1910. Majalah ini sangat mirip dengan karakter De Exprees yang ia terbitkan dua tahun berikutnya. Tulisan di majalah tersebut sarat dengan kritik dan provokasi melawan pemerintahan kolonial belanda.  Setelah De Express dibredel, giliran Suwardi Soerjadiningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan media cetak baru, Hindia Poetra dan De Indier. Khusus untuk Hindia Poetra, majalah ini menggunakan dua bahasa pengantar: Belanda dan Melayu.
Balai Poestaka, salah satu penerbit tertua, juga menerbitkan beberapa majalah untuk rakyat, antara lain Majalah Pandji Poestaka, Majalah Kedjawen, dan Parahijangan, majalah anak-anak berbahasa Melayu Taman Kanak-Kanak, dan yang berbahasa Jawa Taman Botjah. Majalah-majalah lain yang terbit dalam kurun ini antara lain: Fikiran Rakjat milik Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Daulat Ra’jat(diterbitkan Bung Hatta). Lalu, muncul pula Majalah Weekblad Sin Po tahun 1923 yang merupakan terbitan grup Sin Po. Di majalah mingguan ini pula naskah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman untuk pertama kalinya dimunculkan.(Husein 2006)

Tercatat, hinggga tahun 1920-an, sudah ada 127 majalah dan surat kabar. Setelah era ini, masih ada lagi majalah tri wulanan De Chineesche Revue (1927), Timboel (membahas soal budaya, tahun 1930-an), hingga Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan (diasuh HAMKA), serta Pandji Islam
. Dari segi bisnis, disebutkan bahwa mutu kebanyakan majalah masih amat rendah, mengingat situasi yang tak memungkinkan perolehan iklan waktu itu. (Husein 2006)
Pada zaman Jepang, majalah atau surat kabar tidak lagi mungkin beroperasi. Tipikal Jepang yang otoriter membuat mereka melakukan integrasi media dengan pemerintahan. Maka di tiga setengah tahun rezim Jepang, media-media cetak yang sudah ada sebelumnya dilarang beroperasi kembali digantikan dengan media bentukan Jepang.
Para bumi putera yang tadinya bekerja untuk medianya masing-masing, kebanyakan menjadi operator media yang disetir oleh Jepang. Namun begitu, tokoh-tokoh seperti Adam Malik, BM Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, nantinya akan menikmati pengalaman bekerja secara teknis bagi Jepang ini, karena setelah revolusi kemerdekaan, kemudian Adam Malik mendirikan lembaga kantor berita Antara, BM Diah membuat suratkabar Merdeka , Rosihan Anwar mendirikan surat kabar  Pedoman dan mingguan Siasat , dan terakhir Mochtar Lubis dengan suratkabar Indonesia Raya .(Alvin 2011)
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia dan munculnya zaman demokrasi liberal pada tahun 1950-an, stabilitas nasional membuat semua jenis media bisa kembali bernafas. Di sisi lain, kelancaran teknis operasional media dan banyaknya kelompok politik yang terbentuk membuat mereka merasa harus memiliki corong media masing-masing. Hal ini sangat wajar terjadi karena tahun 1955 negara ini mengadakan pemilu perdana dan setiap partai politik tentu harus melakukan kampanye via media cetak.
Salah satu majalah yang sangat terlihat segmentasinya pertama kali adalah majalah Horison yang diterbitkan tahun 1966. Majalah yang didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail mengkhususkan majalah mereka ke ranah sastra. Majalah Horison memang bukan jenis majalah yang sering kita lihat di rak-rak toko buku. Setidaknya majalah Horison sudah ada dalam bentuk online dan bisa kita akses lewat internet.
Tahun 1971 Majalah Tempo pertama kali muncul ke publik. Artikel berita mereka pertama  berbicara soal cedera atlet bulu tangkis, Minarni, di Asean Games Bangkok. Majalah Tempo muncul dengan modal awal dua puluh juta rupiah yang berasal dari Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra. Selain Tempo, majalah-majalah lain ikut bermunculan pascaruntuhnya Orde Lama. Jenis segmentasi majalah pun semakin beragam. Majalah keluarga seperti Femina atau majalah perempuan remaja Kawanku adalah dua contoh majalah yang muncul ke publik saat Soeharto sedang berkuasa.
Afiliasi majalah dengan salah satu kekuatan politik seperti di Orde Lama saat itu sudah mulai pudar. Industri majalah di Indonesia bergerak ke arah yang lebih komersial di zaman Orde Baru. Hal ini tidak aneh karena secara umum tingkat pendapat masyarakat pun meningkat.
Masih di era Soeharto, saat itu media dalam bentuk apapun kerap mengalami keadaan yang dilematis. Khususnya media yang berbentuk hard news, soft news, dan feature sangat rentan jika berbicara apapun yang negatif dan nyerempet dengan Soeharto, pemerintahan dan kabinet, dan partai Golkar. Implikasinya sangat fatal. Media yang bersangkutan akan terancam dicabut surat izin penerbitannya atau yang biasa kita sebut SIUPP.
Majalah Tempo sendiri pernah dua kali mendapat ‘hadiah’ bredel dari Departemen Penerangan. Kasus pertama di tahun 1982 Tempo sempat tidak dibolehkan terbit hanya karena meliput kampanye Partai Golkar yang berakhir rusuh. Di kasus ke dua, Tempo kali ini ditemani dengan majalah Editor dan Detik bersama-sama dihadiahi surat pencabutan izin terbit. Berita kontroversial yang diberitakan saat itu soal skandal pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh Habibie.
Pembredelan ketiga majalah tersebut ternyata melahirkan demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para aktifis, mahasiswa, dan buruh. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia pun ikut bergolak. Beberapa jurnalis seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lain-lain kemudian berinisiatif mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Organisasi baru ini sebagai simbol perlawanan terhadap PWI yang dianggap dalam dekapan pemerintah.
Setelah Soeharto turun dan bola reformasi terus bergulir SIUPP yang menjadi syarat utama penerbitan media ikut dihilangkan. Maka industri majalah pun kembali menemukan momentum untuk melesat sekali lagi. Jumlah majalah yang beredar kini di masyarakat meningkat pesat tanpa ada satu pun instrumen pemerintahan yang berhak mengatur izin penerbitan. Majalah Tempo yang pernah dibredel pun kembali terbit.
Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini, majalah pun terus menyesuaikan tampilannya sehingga semakin lama semakin menarik. Majalah saat ini juga menjadi salah satu simbol gaya hidup atau identitas seseorang. Contohnya majalah Annida eberapa tahun yang lalu sempat menjadi ikon majalah remaja muslim. Identitas yang dibawa majalah Annida membuat banyak yang memiliki kemiripan identitas membeli majalah tersebut.
Seperti halnya media lain, media apapun yang dulu dipakai sebagai media perjuangan, berubah menjadi konglomerasi media. Banyak konten media sudah sangat profit oriented. Pergeseran nilai yang sangat nyata ini telah menjadi fakta sosial yang sulit kita pungkiri.  [akang dewan]

Daftar Pustaka 
Rahzen, [et. al.]. 100 Jejak Pers Indonesia. Jakarta: I:BOEKOE, 2007.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/07/sejarah-majalah-tempo-konflik-dan-pembredelan/ (diakes pada 1/4/2011 pukul 13.24)