Wednesday 2 February 2011

Ku saksikan tubuh kecil yang letih di pinggiran jalan
Hanya beralaskan lembar koran
Berselimutkan malam

Anak jalanan. Fenomena universal yang terjadi di seluruh dunia. Mereka sebuah fenomena yg muncul bersama dengan berkembangnya kota besar di seluruh dunia. Mereka berada di perempatan jalan, angkot, bis kota, terminal, stasiun, kereta ekonomi, dan di ruang publik lain. Tempat-tempat tersebut adalah ‘lahan’ mencari uang paling strategis. Minimal hanya dengan modal sedikit kecrekan, gitar akustik mini, atau bahkan hanya dengan modal suara mereka bisa ngamen. 
Pengamen mungkin pekerjaan paling umum digeluti oleh anak jalanan. Beberapa pekerjaan seperti loper koran dan tukang semir sepatu juga biasa mereka geluti. Pekerjaan yang mungkin tidak satu pun dari kita pernah coba lakukan menjadi penjamin urusan perut anak jalanan.
Saat ini keberadaan anak jalanan menjadi hal yang lumrah di mata kita. Seperti layaknya kesalahan yang dikatakan berkali-kali menjadi sebuah kebenaran. Maka semakin sering kita melihat anak jalanan, setiap pekan, setiap hari, dan bahkan setiap kita keluar rumah, mata kita semakin akrab dengan anak jalanan. Otak kita kemudian memproses bahwa anak jalanan tidak lagi menjadi masalah, tetapi sesuatu yang normal.
Ada faktor umum dan pendorong fenomena anak jalanan. Faktor penyebab munculnya anak jalanan yang paling umum terjadi adalah masalah uang. Jika memakai angka pendapatan per kapita 2 dollar AS per hari sesuai dengan standar kemiskinan versi Bank Dunia, di Indonesia terdapat 100 juta orang miskin. Angka yang sangat menjelaskan kenapa kita bisa menemukan anak jalanan di mana-mana. Faktor pendorongnya yaitu keinginan anak itu sendiri, karena prihatin terhadap kondisi kehidupan orang tua dan keluarganya. Atau mungkin juga karena ingin mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Pada dasarnya siapa pun orang tua, nuraninya tidak akan sampai hati membiarkan anak-anak mereka ikut mencari makan. Akan tetapi, sebagai kaum papa yang tidak berdaya, mereka harus berdamai dengan keadaan yang menghimpit. Maka bertebaran lah anak-anak itu di sekitaran di jalan, stasiun,dan terminal.
Di jalan, Salah satu kelompok anak jalanan yang spesifik adalah anak punk. Mereka kita bisa kenali dengan dandanannya yang khas. Cat rambut warna-warni, celana pensil, kaos hitam, dan lain sebagainya. Member anak punk ini biasa datang dari keluarga broken home atau remaja yg mencari kebebasan dari sekolah dan lingkungannya. Komunitas tersebut terbentuk oleh adanya kesamaan nasib dan kesamaan jenis musik yang mereka sukai.
Jumlah anak jalanan faktanya terus bertambah tiap tahun. Jumlah anak Indonesia (0-18 tahun) menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2006 mencapai 79,8 juta anak. Mereka yang masuk kategori telantar dan hampir telantar mencapai 17,6 juta atau 22,14 persen. Menurut Komisi Perlindungan Anak, hampir separuhnya berada di Jakarta. Sisanya tersebar ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja ,Surabaya, Malang dan Makasar. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa.
Untung saja pemerintah memiliki fasilitas sekolah gratis. Maka setidaknya anak-anak jalanan itu masih bisa merasakan bangku sekolah. Walaupun belum tentu mereka memang senang bersekolah. Dalam banyak kasus, bocah-bocah jalanan memang lebih senang berada di jalan daripada mengikuti proses kegiatan belajar mengajar formal. Karena jalanan memang menawarkan kebebasan dan uang instan untuk jaminan makan mereka hari. Berbeda dengan sekolah yang tidak menawarkan uang untuk makan, tawaran berupa masa depan terlihat begitu bias di mata mereka. Bagaimana mungkin memikirkan masa depan jika untuk makan hari ini saja masih harus ngamen?
Insting manusia untuk hidup berkelompok juga berlaku untuk anak jalanan. Biasanya mereka memilki kelompok kecil beranggotakan tiga sampai sepuluh orang. Setiap anggota memiliki persaudaraan yang sangat kuat antar sesamanya. Ada rasa untuk saling mengisi dan melengkapi diantara mereka. Dengan anggota kelompok juga anak jalanan akan saling berbagi pendapatan harian. Usai kerja seluruh anggota kelompok akan berkumpul dan menghitung total uang yang didapat. Total uang tersebut kemudian dibagi rata sejumlah anggota kelompok. Sebuah persaudaraan yang indah dan nasib telah menyatukan mereka.
Kelompok itu membantu anak jalanan untuk bertahan hidup. Karena layaknya berdagang tidak setiap hari mendapat untung. Roda nasib berputar terkadang dapat banyak terkadang tidak. Seorang pengamen yang ditemui di stasiun Lempuyangan bercerita bahwa dia bisa pulang dengan dua puluh ribu sehari. Itu hasil yang ia dapat setelah digabung dan dibagi teman sekelompoknya. Padahal hasil mengamennya seharian jarang sekali mendapat uang sebesar itu.
Menjadi pengamen mungkin bukan sebuah pilihan bagi mereka. Tuntutan hidup untuk mengisi perut dengan makanan yang layak menjadi motivasi utama. Perkara kehidupan jalanan membuatnya nyaman atau tidak tentu bergantung kepada kondisi setiap individu. Walaupun katanya anak-anak jalanan itu menjadi tanggungan pemerintah di dalam undang-undang. Faktanya adalah itu semua hanya ideologi yang tertulis. Kini tanggung jawab itu bukan lagi milik pemerintah, tetapi tanggungan kita semua.  

 Referensi tambahan

Menghimpun Sepotong Sejarah Gedung Agung Yogyakarta

Luasnya wilayah Indonesia membuat pemerintah Hindia Belanda harus membuat struktur hierarkis di daerah. Kantor perwakilan di setiap daerah kemudian menjadi suatu kebutuhan sentral. Maka dibagilah daerah-daerah menjadi banyak residen. Sebuah corak birokrasi yang secara tidak langsung memberikan wawasan tentang birokrasi modern kepada bangsa Indonesia.
Pada saat pemerintahan Daendels dan Raffles, corak birokrasi dibuat sangat liberal seperti yang dilakukan di negara asal mereka berdua. Akan tetapi, semua berubah setelah Belanda kembali memegang tampuk penjajahan setelah serah terima wilayah jajahan di Konferensi London. Corak birokrasi Indonesia didesain kembali bersifat feodal. Belanda mengerti betul bahwa masyarakat Indonesia belum cocok dengan hal yang terlalu modern. Sehingga sifat dan watak feodalisme orang Indonesia menjadi bagian birokrasi yang dibangun Belanda sejak tahun 1816.
Salah satu dari kebutuhan birokrasi adalah kantor pemerintahan yang permanen. Kebutuhan ini terasa sangat mendesak seiring dengan bertambahnya tahun. Gedung yang akan dibangun nanti tidak sekedar untuk menjadi kantor karasidenan. Gedung yang akan dibangun juga ingin dibuat untuk memamerkan kemewahan. Memberikan sugesti hegemoni kepada masyarakat luas bahwa kekuasaan Belanda itu sangat hebat.
Maka pada tahun 1823 Residen Yogyakarta kedepalapan belas, Anthonie Hendrik Smissaert mengusulkan untuk membangun gedung tersebut. Maka kemudian ditunjuklah seorang pelukis lanskap, Antoine Payen, untuk mengepalai pembangunan gedung megah milik Karasidenan Yogyakarta. Dia mendesain gedung itu dengan gaya eropa yang menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Gaya eropa yang dibangun di Gedung Agung sangat terlihat dari bentuk pintu dan jendelanya yang tinggi dan besar.  
Akan tetapi, pembangunan kantor sekaligus kediaman Residen Yogyakarta usulan Residen Anthonie Hendrik Smissaert harus dihentikan untuk sementara waktu. Hal ini dikarenakan Pangeran Dipenogoro mengumumkan perang melawan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1925. Padahal pembangunan kantor karasidenan itu baru dimulai setahun sebelumnya.
 Sang Arsitek
Antoine Prancis adalah seorang pemuda kelahiran Prancis tahun 1792. Ia pertama kali menginjakkan kakinya di Hindia Belanda tepatnya di tanah jawa pada tahun 1816. Kedatangannya bersama para juru gambar Bik Bersaudara, Jan Bik dan Theodore Bik.
Antoine Payen dikirim oleh pemerintahan Belanda untuk menjadi pelukis lanskap di Hindia Belanda. Pengalamannya tentang seni lukis cukup diakui pemerintah. Riwayat pendidikannya sangat bagus dan membuat Belanda mau membiayai Antoine Payen berangkat.
Sebelum pergi ke Hindia Belanda, Antoine Payen yang berbakat, serba bisa, dan adaptif ini sudah lebih dahulu mempelajari teknik dasar seni lukis di Belgia. Ia sempat belajar di Academy of Drawing, Belgia, yang ketika itu dipimpin oleh Piat Jospeh Sauvage, seorang pelukis yang sebelumnya sempat belajar di Academic Royal de Paris serta sempat pula bergabung dengan gerakan massa dalam Revolusi Prancis. (http://bit.ly/f0q9po /perjalanan/112-payen.html diakses pada tanggal 4/1/2010 pukul 23.37)
Di hindia Belanda, Antoine Payen dikenal ramah dan simpatik. Ia memperoleh posisi dan status sosial yang sangat baik di Hindia Belanda. Status sosial yang ia dapatkan didukung tergabungnya Antoine Payen dengan kolompok kecil orang-orang terpelajar yang berada di lingkaran terdekat Gubernur Jenderal Van der Capellen. Hak istimewa yang dimiliki oleh Antoine Payen membuat dirinya bisa berkunjung ke beberapa tempat di Nusantara yang terletak cukup jauh dari pulau Jawa. Bersama dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen, ia mengunjungi Maluku dan Sulawesi.
Saat berkunjung ke Maluku itulah ia melukis lanskap pelabuhan Ternate. Adi karyanya itu terpampang manis sebagai sampul buku Ibu Maluku: The Story of Jeanne van Diejen karya Ron Heynmann. Hasil lukisannya sangat bagus dan menjadi pembuktian bahwa Belanda tidak salah kirim seorang pelukis lanskap.
Lukisan Antoine Payen lanskap pelabuhan Ternate
Sumber: http://bit.ly/frCSPi

Kepergian Antonine Payen menuju Hindia Belanda, memang memberikannya banyak pengalaman berharga. Pergi jauh merantau ke tempat lain tentu memberikannya kehidupan yang sangat berbeda dengan kampung halamannya. Eksotisme nusantara membuat dirinya tersihir dan kerasan tinggal di Hindia Belanda.
Akan tetapi, Antoine Payen pun akhirnya harus pulang ke Eropa. Setelah satu dekade meninggalkan tunangannya, Antoine Payen pulang untuk memenuhi janji untuk menikahi wanita tersebut. Dua tahun setelah merancang istana agung Jogja, pada 1926 tepatnya, ia pulang ke Eropa. Malangnya, sebelas bulan pasca pernikahan, istrinya Pauline menemui ajalnya sebelas bulan pasca ia melahirkan seorang anak untuk Antoine Payen.
Loji kebon
Pada zaman Belanda, Gedung Agung bernama Loji Kebon. Sebutan itu adalah sebuah potret keadaan Gedung Agung saat itu. Disebut demikian karena dahulu Gedung Agung memiliki halaman yang sangat luas. Tidak hanya luas, halaman Gedung Agung pun juga teratur dan indah, sehingga rasanya tepat sekali jika disebut Loji Kebon.
Setelah masa Perang Jawa berakhir, para residen kemudian menempati Loji Kebon pada tahun 1832. Mereka memindahkan kantor karasidenan dari sebelumnya di Loji Bulu.  Akan tetapi, sebenarnya Loji Kebon belum sepenuhnya rampung. Beberapa bagian masih dalam tahap pembangunan hingga akhirnya selesai pada tahun 1869. 
    
  Gedung Agung   
Sumber: http://bit.ly/gEr78d

Pada tanggal 1867, pembangunan Gedung Agung kembali terhambat. Hal itu dikarenakan gempa bumi yang terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa bumi tersebut berdampak pada runtuhnya beberapa bangunan Loji Kebon. Maka sebenarnya bangunan Loji yang rampung pada tahun 1869 sejatinya adalah bangunan yang sama sekali berbeda dengan yang dibangun pada tahu 1824.
Keberadaan Loji Kebon dan Benteng Vredeburg memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Benteng Vredeburg adalah simbol kontrol terhadap pemerintahan keraton Yogyakarta. Sedangkan Loji Kebon adalah simbol pemerintahan Hindia Belanda. Pengakuan Belanda terhadap eksistensi keraton diimbangi dengan campur tangannya dalam tata pemerintahan. Penempatan Loji Kebon dan Benteng Vredeburg juga sengaja berada tidak jauh dari komplek keraton. Hal itu agar pihak keraton mudah diawasi dari kedua gedung Belanda tersebut.
Ricklefs juga menyebutkan dalam disertasinya berkaitan dengan Kesultanan Yogyakarta kalau Sultan Hamengkubuwono tak bisa leluasa bertindak. Bahkan termasuk keharusan meminta izin lebih dahulu jika hendak keluar dari Kutaraja. Pembangunan Vrerdeburg dan Gedung Agung itu direspons oleh pihak keraton dengan menanam banyak pohon asem di sekitar alun-alun utara agar ‘sedikit’ terhalang.
Pada tahun 1912, Loji Kebon dipandang memiliki lahan yang kelewat luas. Sehingga ada inisiatif dari pemerintahan Hindia Belanda untuk mengurangi sedikit lahan Loji Kebon untuk keperluan lain. Hal ini dikarenakan pekarangan Loji Kebon terlalu menjorok ke sebelah utara. Lahan di sebelah utara pun kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah bagi gadis eropa. Sekolah gadis itu kemudian dinamakan, Iste Europeesche lagere meisjes school. Walaupun pada akhirnya sekolah untuk gadis eropa tersebut tidak bertahan lama dan ditutup pada tahun 1930.
Setelah sekolah gadis eropa dinonaktfkan, bekas gedungnya digunakan kembali sebagai sekolah. Kali ini Belanda menggantinya dengan sekolah dasar pertama untuk anak Ambon, Iste Europeesche Lagere Ambongsche. Sekolah tersebut mampu bertahan selama 12 tahun hingga tahun 1942 bersamaan dengan berakhirnya penjajahan Hindia Belanda yang direbut oleh pasukan militer Jepang. Pada akhirnya gedung tersebut dipakai sebagai Sekolah Dasar Ngupasan 1 hingga saat ini.
Ada fenomena yang menarik selama gedung sekolah itu digunakan sebagai sekolah dasar untuk anak ambon. Fenomena tersebut adalah setiap masuk dan pulang sekolah murid-murid asal Ambon itu harus dikawal ketat oleh serdadu KNIL. Hal itu dikarenakan anak-anak Ambon tersebut terkenal sangat berandal dan sulit diatur. Maka muncul inisiatif untuk membuat pengawalan khusus bagi murid-murid yang bersangkutan.
Pada awalnya murid-murid berbaris panjang dan dikawal minimal tiga serdadu KNIL tiap barisan. Akan tetapi, walaupun sudah dikawal ketat, kejar-kejaran antara murid Ambon dengan tentara tetap seringkali terjadi. Bahkan serdadu KNIL pernah melakukan hal yang sangat ekstrem bagi para murid sekolah Iste Europeesche Lagere Ambongsche. Setiap murid dalam barisan diikat dengan tali tampar yang panjang. Ikatan tali yang membuat murid-murid Ambon itu tidak bisa melawan. Tindakan ekstrem itu dilakukan mungkin dikarenakan tentara KNIL itu sangat kewalahan mengurus mereka sehingga terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi.  
Pemerintahan Hindia Belanda juga mengurangi sebagian lahan Loji Kebon untuk dijadikan lahan pembangunan gedung pengadilan negeri. Akan tetapi, fungsi gedung sebagai pengadilan negeri tidak bertahan lama. Fungsi gedung kemudian berubah menjadi untuk pengadilan ngupasan atau dalam bahasa populernya, rumah gadai. Niat pemerintah Belanda mengalihfungsikan gedung tersebut menjadi rumah gadai agar bisa menolonng masyarakat yang butuh uang tunai untuk keperluannya. Rumah gadai tersebut juga berfungsi memberikan kredit ringan untuk memberantas ijon[1] dan lintah darat yang kerap menindas masyarakat.
Di sebelah selatan gedung utama, terdapat tempat yang berfungsi sebagai pusat hiburan bagi orang Belanda dan bangsawan, yaitu gedung Societet der Vereniging atau Balai Pertemuan Persatuan. Orang-orang Indonesia biasa menyebutnya kamar bola. Disebut begitu karena banyak orang-orang Belanda datang pada akhir pekan untuk bermain bowling. Mereka menerjemahkan bowling ini sesuai dengan lafal bahasa melayu, bola.

Gedung seni-sono

sumber: http://bit.ly/fFj2Xl


Setiap akhir pekan gedung Societet der Vereniging ramai dikunjungi.  apalagi jika para pegawai tersebut telah terima gaji dari pemerintah. Pada masanya, gedung tersebut terbilang memiliki fasilitas hiburan yang cukup lengkap. Di sana pengunjung bisa datang untuk bermain musik dan berdansa. Selain itu, ada juga berbagai fasilitas untuk rowlette, judi balap kuda, dan lain-lain.
Tempat hiburan itu pun ternyata tidak lama usianya. Sebab, inggris datang dan mengebom gedung Societet der Vereniging ketika pihak sekutu ikut menyerang untuk merebut wilayah Indonesia dari Jepang. Maka gedung pun hancur dan hanya menyisakan schouwburg (panggung utama) di bagian depan ruangan. Sisa bangunan yang dibom kemudian dibangun kembali menjadi gedung seni-sono.
Keberadaan Arca
Di dalam komplek Gedung Agung, terdapat banyak sekali arca-arca dan patung dewa dalam terminologi agama Hindu dan Budha. Di sana didapati beberapa Arca Ganesha, Arca Dwarapa, dan masih banyak lagi jenis patung yang namanya pun tidak ketahui oleh guide istana. Hal ini terlihat aneh karena Hindu dan Budha adalah agama yang dianut oleh orang Indonesia bukan Belanda. Lalu, kenapa ada banyak arca-arca Hindu dan Budha di Gedung Agung?
Diperkirakan, sebagian dari arca tersebut dulunya merupakan koleksi meneer-meneer Belanda penghuni awal Gedung Agung. Menurut keterangan Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, arca-arca kuno itu kemungkinan besar berasal dari dataran Prambanan dan dataran Sorogedug. Kemudian artefak-artefak kuno itu diangkuti ke Statiran (Rumah kediaman Administratir) di Yogyakarta (Candi-candi di Sekitar Prambanan, 1974). Sepeninggal Belanda, artefak-artefak kuno itu dibiarkan di sana hingga kini. (Djulianto Susantio, 2010)
Koleksi-koleksi arca di Gedung Agung hingga saat ini cukup banyak dan tersebar di beberapa titik komplek Gedung Agung. Di dekat pintu gerbang Gedung Agung terdapat Arca Dwarapa setinggi dua meter. Di halaman depan istana juga terdapat beberapa arca yang mengelilingi tiang bendera. Staff rumah tangga istana juga mengonsentrasikan beberapa arca yang berserakan di banyak tempat ke samping Gedung Seni Sono.  
Di salah satu sisi Halaman istana depan gedung utama juga terdapat monumen Dagoba. Monumen ini tingginya sampai 3,5 meter dan terbuat dari batu andesit. Dagoba berasal dari Desa Cupuwatu, di dekat Candi Prambanan. Orang yogyakarta menyebutnya Tugu Lilin karena tampak seperti lilin yang senantiasa menyala. Lilin tersebut melambangkan kerukunan beragama antara Hindu dan Budha. Agama Hindu Siwa diwakili oleh lambang lingga yang menopang stupa. Adapun stupa sendiri sebagai simbolisasi agama Budha. 


Tugu lilin Foto: Danastri

Pada akhirnya Gedung Agung atau Loji Kebon masih memiliki cerita panjang yang banyak dari kita belum ketahui. Minimnya data sejarah lebih-lebih saksi mata sejarah adalah pekerjaan rumah kita bersama. Jikalau Yogyakarta sedang bergejolak soal penetapan sultan berikut klaim sejarahnya, maka kesadaran masyarakat akan pengetahuan sejarah akan semakin tinggi. Sehingga Gedung Agung pun harus berbenah untuk terus melengkapi data sejarah yang berkenaan dengan Gedung Agung. Agar pengunjung yang berdatangan melakukan studi ke sana tidak kesulitan mencari info sejarah Gedung Agung yang komprehensif.

[1] secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang. (http://bit.ly/gBP72B diakses 6/7/2011 pukul 10.55)

Daftar Pustaka

Artha, Arwan Tut. YOGYAKARTA TEMPO DOELOE, Sepanjang Catatan Pariwisata. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000.
 Booklet Istana Presiden Republik Indonesia, 2010.


Daftar referensi internet
http://bit.ly/gbF8St diakses pada 6/1/2011
(http://bit.ly/f0q9po /perjalanan/112-payen.html diakses pada tanggal 4/1/2010 pukul 23.37)
http://www.presidenri.go.id/istana/index.php/statik/profil/istana/yogya.html






Tanah milik siapa?


Sepotong tanah di sebelah utara Arab Saudi itu sudah menjadi saksi sejarah sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim meninggalkan salah satu keturunannya di Yerussalem, Ishaq bin Ibrahim. Setelah dewasa, Nabi Ishaq ditugaskan untuk berda’wah dan menjadi penjaga masjid Al-Aqsha yang telah dibangun oleh Nabi Adam.
Sejarah terus berlanjut dengan lika-liku bangsa Yahudi di Palestina. Palestina telah menjadi saksi bisu kejayaan bangsa itu hingga fenomena diasporanya. Kisah pun disambung dengan diangkatnya nabi terakhir Bani Israil, Isa bin Maryam. Proses terbentuknya  agama Kristen pun tidak lepas dari tokoh-tokoh dari Yerussalem. Kuasa tanah Palestina kemudian pernah berada di atas kuasa bangsa Romawi dan gereja. Islam pun datang pada abad ketujuh dan berhasil mendapatkan kunci gerbang Palestina secara damai pada masa pemerintahan Umar bin Khatab.
Tanah Palestina kini kembali bergolak. Sejak pengambil alihan secara paksa tahun 1948 oleh Israel, perang tidak dapat dihindarkan. Konflik yang berujung pada tragedi kemanusiaan telah berlangsung puluhan tahun hingga saat ini. Setiap pihak memiliki klaim dan merasa dirinya paling benar. Lalu siapa pemilik tanah Palestina sebenarnya?
 Bangsa Yahudi
Nabi Ishaq A.S ditinggalkan bersama ibunya di Yerussalem oleh Nabi Ibrahim. Keturunan Nabi Ibrahim A.S dari Nabi Ishaq A.S banyak yang menjadi dikaruaniai tugas sebagai rasul. Mereka antara lain, Nabi Ya’qub, Yusuf, Yunus, Musa, Harun, Ilyas, Ilyasa, Dais, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa ‘Alaihimussalam. Berikut adalah nabi yang berasal dari kaum Bani Israil.  
Nabi Ya’qub sebagai salah dari nabi keturunan Ishaq tinggal di negara Kan’an-Palestina bersama sebelas anaknya kecuali Yusuf yang berada di Mesir. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa keturunan Yaqub itulah sebelas suku Bani Israil berasal.
Suatu ketika datang masa paceklik yang membuat tanah Kan’an tidak lagi menghasilkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Yusuf yang saat itu sudah dikaruniai kerasulan menolong ayah dan saudara-saudaranya dan memindahkan tempat tinggal mereka ke Mesir.
Maka sejak itu tinggal lah nenek moyang Bani Israil di Mesir hingga zaman Nabi Musa A.S. Pada zaman beliau, Bani Israel keturunan Nabi Ya’qub dimusuhi oleh bangsa Mesir karena kelakuan mereka sendiri. Hingga akhirnya Bani Israil kembali terusir dari Mesir. Bani Israil yang dipimpin Nabi Musa A.S saat itu berhasil lolos dari kejaran maut pasukan Firaun karena mujizat yang dimiliki Nabi Musa.
Selepas pengejaran dari Firaun, Bani Israil sebenarnya telah dijanjikan untuk kembali ke negeri Kan’an, Palestina, kampung halaman leluhur mereka. Akan tetapi, dengan lancangnya Bani Israil menafikan janji Allah tersebut karena takut menyerang ke sana. Sehingga mereka diazab dengan tidak diizinkan masuk ke negeri Kan’an dan terkatung-katung di padang pasir selama 40 tahun[1]. Kedurhakaan dari orang-orang Bani Israil itu sendiri kemudian yang membuat mereka kehilangan kesempatan untuk pulang.
Setelah masa-masa hukuman empat puluh tahun tersebut Bani Israil kemudian akhirnya mendapat keberanian untuk datang menaklukan negeri Kan’an. Zaman keemasan bagi Bani Israil pun datang saat Nabi Daud dan Sulaiman memimpin mereka. Akan tetapi, setelah itu mereka jatuh lagi dalam kemungkaran sehingga Allah pun memberikan dua kali serangan yang mencerai beraikan Bani Israil. Serangan pertama dilakukan Nebuchadnezar dari Babilonia sedangkan serangan kedua datang dari bangsa Romawi[2].
Kedua serangan ini dilakukan atas dasar niat penjajahan dan penaklukan. Efek dari serangan tersebut pun membuat penduduk Bani Israil menjadi tercerai-berai bepergian mencari perlindungan. Khususnya serangan kedua yang dilakukan romawi adalah puncak kehancuran mereka. Secara berkelompok mereka pergi ke dua destinasi utama, tanah eropa dan arab. Maka terjadilah fenomena diaspora di dalam diri bangsa Yahudi.
Umat Kristiani
Betlehem dipercaya oleh mayoritas umat kristiani sebagai tempat di mana sang Messias lahir. Walapun ada beberapa kontroversi soal tempat, kepercayaan akan hal tersebut terpatri sangat kuat bagi penganut agama Kristen. Di tengah kota Betlehem terdapat sebuah gua yang dinamakan Holy Cript. Gua ini diyakini sebagai tempat spesifik Sang Messias lahir. Gereja Kelahiran pun dibangun oleh Konstantin Agung dan menjadi gereja kristus tertua sampai saat ini.
Terlepas dari perbedaan teologis soal siapa yang disalib antara umat kristiani dan muslim, agama Kristen kemudian lahir dari seorang bernama Saulus. Dia adalah orang yahudi pertama yang menyebarkan agama untuk semua orang. Agama Kristen yang dibawa Saulus dianggap sebuah pengkhianatan atas keyakinan bangsa Yahudi yang menganggap bangsanya adalah bangsa pilihan tuhan-Yahweh.
Kemudian Saul Paulus mendakwahkan agamanya kepada kerajaan Romawi yang statusnya sebagai penguasa Yerussalem. Doktrin agama yang disampaikan Saulus banyak menafikan hukum nabi-nabi Israel seperti yang dijelaskan di Zabur dan Taurat.(Abu Bakar: 2008) Dakwah Saulus Paulus bukannya tanpa rintangan, Kristen juga sempat dicurigai sebagai sebuah konspirasi menghancurkan bangsa Romawi. Walaupun kemudian pada akhirnya agama Kristen kembali diterima oleh mereka karena alasan politis. 
Agama Kristen kemudian berkembang sangat pesat justru bukan di tanah dia lahir. Bersama kerajaan Romawi di Eropa agama Kristen justru menjadi agama mayoritas. Kerinduan akan kejayaan di tanah kelahiran kristus pernah membuat umat kristiani di eropa berbondong-bondong datang mencoba menaklukan Yerussalem. Alasan lain yang mendasari kedatangan orang eropa adalah untuk menjamin keamanan rute ziarah ke Betlehem. Setidaknya sejarah mengakui kaum kristiani sempat menjadi penguasa tanah Yerussalem selama 88 tahun.  
Umat Islam
Bagi umat Islam, keberadaan masjid Al-Aqsha di Palestina adalah sebuah keistimewaan yang sangat penting. Salah satu alasannya adalah karena masjid Al-Aqsha adalah kiblat pertama kaum muslimin melakukan shalat. Baru setelah dua tahun berjhijrah turun ayat[3] yang memerintakan Nabi Muhammad SAW  memindakan kiblat dari Masjid Al-Aqsha ke Ka’bah di Masjidil Haram.
Masjid Al-Aqsha juga adalah saksi bisu peristiwa Isra’ Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Malam itu tertanggal 27 Rajab Nabi Muhammad SAW didatangi oleh Jibril untuk sebuah misi. Misi tersebut adalah membawa Nabi Muhammad SAW ke ‘arsy menemui Allah. Sebelum perjalanan ke langit ketujuh itulah Nabi Muhammad SAW menyempatkan diri untuk shalat sunnah dua rakaat di masjid Al-Aqsha. Dalam sirah kenabian disebutkan Buraq, kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad SAW diikatkan di tembok barat. Bukti paling mencolok yang saat ini kita bisa lihat adalah adanya batu yang melayang di dekat komplek masjid Al-Aqsha. Disebutkan bahwa batu tersebut adalah pijakan Buraq sebelum pergi naik ke  langit ke tujuh.
Klaim terpenting kaum muslim atas tanah Palestina adalah penaklukan yang terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khatab. Pada saat itu Palestina yang sebelumnya milik Kekaisaran Romawi telah dikuasai oleh pasukan muslimin. Akan tetapi, pemimpin kota Yerussalem, Pendeta Agung Sophronius, saat itu menolak memberikan ‘kunci’ sebagai simbol telah takluknya kota ke tangan kaum muslimin kecuali dengan satu syarat. Dia meminta Khalifah Umar bin Khatab selaku pemimpin kaum muslimin saat itu datang langsung menerima kunci kota Yerussalem.
Maka Umar Bin Khatab pun menerima permintaan Pendeta Sophronius untuk datang langsung ke Yerussalem. Kedatangan sang Amirul mukminin membuat banyak penduduk asli Yerussalem bersimpati. Selain karena sikap Khalifah yang sangat sederhana, juga karena jaminan kehidupan, keamanan, dan yang terpenting kebebasan agama dimiliki setiap orang di Yerussalem. Penaklukan Yerussalem adalah bukti bahwa setiap penakulukan yang dilakukan umat Islam selalu tidak diiringi oleh pembunuhan seluruh penduduk asli dan pemusnahan rumah ibadah.
Pada tahun 1099 Yerussalem memang menjadi milik kaum kristiani setelah pasukan Salib mengakuisisi tanah Palestina. Akan tetapi, kekuasaan mereka tidak berlangsung lama. Karena pada di penghujung tahun 1187 Sultan Shalahuddin Al-Ayubi mampu kembali merebut Yerussalem dari tangan kaum kristiani.
Terakhir kuasa tanah Yerussalem khususnya dan Palestina kembali lepas dari kekuasaan kaum muslimin. Setelah kekalahan yang dialami oleh Kekhalifahan Turki Utsmani di Perang Dunia 1 membuat tanah Palestina jatuh ke pihak sekutu. Lalu lewat perjanjian Sykes-Pycot tanah Palestina resmi menjadi milik Inggris dan diberikan kepada Israel secara tidak langsung pada tahun 1948.
Masa kini
Rebutan edisi modern kali ini terjadi antara pihak zionis yahudi bernama Israel dan negara Palestina. Konflik ini telah berlangsung selama 62 tahun dan belum ada tanda-tanda akan segara berakhir. Konflik terbuka terakhir terjadi pada akhir tahun 2009 lalu saat Israel ngotot ingin membebaskan salah seorang tentaranya yang ditawan oleh Hamas.
Selama 62 tahun itu pula Israel telah mencaplok sedikit demi sedikit tanah yang sebelumnya dimiliki oleh bangsa Palestina. Parahnya, tidak sekedar mencaplok, orang-orang Israel itu tidak segan-segan melakukan pembunuhan dan pembantaian atas nama misi kenegaraan. Sedikitnya ada 23 pembantaian besar yang telah Israel lakukan terhadap bangsa Palestina.
Seandainya kita semua sadar tanah palestina merupakan daerah yang sangat sakral bagi penganut tiga agama samawi. Di dalamnya terdapat tiga tempat suci yang amat berarti bagi setiap tiap agama. Masjid al-Aqsha adalah tempat maha penting bagi umat Islam. Juga ada Betlehem yang diyakini umat kristiani sebagai tempat kelahiran yesus. Terakhir ada tembok ratapan yang dipercaya oleh kaum yahudi sebagai sisa reruntuhan haikal sulaiman.
Di zaman yang yang semua orang menyadari soal hak asasi manusia, tidak bisa kah kita memaknai keadilan itu untuk semua golongan dan kelompok di tanah Palestina. Adakah mereka bisa mengorbankan kepentingan atas nama perdamaian. Cita-cita itu sangat utopis memang. Akan tetapi, jika bermimpi saja /ita tidak berani, bagaimana mungkin kedamaian yang sebenarnya itu betul-betul terjadi.
Daftar Pustaka
Bakar, Abu. Berebut Tanah Palestina. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
Parker, James. Sejarah Palestina. Yogyakarta: Sketsa, 2007.
thalbah, Hisham. Mujizat Al-Quran dan Hadits. Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008.
Al-Quran (2: 143-143) (5: 19-26) (17:4-8)



[1] Al-Quran (5: 19-26)
[2] Al-Quran (17:4-8)
[3] Al-Quran (2: 143-143)