Wednesday 30 March 2011

interaksi, integrasi atau adu pengaruh

Beberapa mahasiswa baru datang ke kampusnya dengan sikap yang berbeda. Adalah salah seorang dari mereka yang berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah bersikap pasif dalam berinteraksi dengan lingkungan barunya. Cukup kontras dengan mahasiswa yang menurut keterangan dari sebuah kota besar di Barat pulau Jawa bersikap lebih terbuka dan fleksibel dengan lingkungan barunya. Ada apa dengan perbedaan pola interaksi antara mahasiswa kota besar dan desa? Walaupun tidak selalu absolut terjadi demikian, tetapi ini pola umum yang biasa kita temukan.
Sebenarnya ada apa dengan perbedaan latar belakang kita berasal dengan pola interaksi pribadi kita dengan orang lain? Karakter masyarakat orang kota pada yang biasa kita temui cenderung berpola individualistik dan asertif. Secara ekonomi orang kota pun identik dengan status menengah ke atas. Norma masyarakat yang dipegang umumnya sangat longgar sehingga norma biasanya diserahkan kepada self-control  masing-masing individu.
Di sisi lain, karakter orang desa kerap kali masih bercorak feodalistis. Pembagian kelas di masyarakat desa biasanya minimal memiliki dua tingkat. Tingkat yang berada ‘kasta’ atas biasanya ditempati oleh kepala desa atau aparatur desa dan orang yang memiliki penghasilan lebih banyak dibanding rata-rata orang sedesa. Di ‘kasta’ bawah ini biasanya diisi oleh masyarakat desa kebanyakan yang kegiatan ekonominya tidak terlalu besar dan tidak memiliki jabatan sosial tertentu. Terakhir, berlawanan dengan masyarakat kota yang semakin cenderung individualistik, masyarakat desa umumnya masih menganggap norma adalah sesuatu yang mengikat setiap tata perilaku mereka. Karena itu budaya seperti ewuh pakeweuh terus subur di desa. 
Pembagian ‘kasta’ ini memengaruhi banyak hal dalam interaksi masyarakat desa. Kasta yang berada di atas biasanya menganggap dirinya memiliki kekuatan tidak kasat mata. Ia memiliki sebuah prestise yang membuat dirinya lebih daripada orang lain. Budaya ‘kasta’ yang sederhananya adalah feodalisme inilah yang kerap kali menjadi barrier komunikasi antara dua kasta tadi. Setelah kasta atas selalu menganggap dirinya selalu benar, kasta bawah pun menganggap dirinya tidak memiliki banyak hak untuk berbicara banyak karena menganggap dirinya tidak sebaik orang lain. Takut jika ada interaksi yang tidak tepat, menyalahi norma, dan tidak dirasa berkenan oleh kasta atas. Model komunikasi linier.
Pola interaksi yang jauh berbeda berada di kalangan masyarakat kota yang sekali lagi cenderung bebas, individualistik, dan demokratis. Setiap orang dalam masyarakat umumnya memiliki hak untuk bersuara. Model komunikasi yang terjadi minimal dalam bentuk interaksional. Orang kota terbiasa dalam memberikan umpan balik dalam banyak perbicangan dan diskusi. Karena hal ini juga disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat kota yang tinggi sehingga sikap demokratis dan saling menghargai pendapat adalah sebuah nilai.
Lalu ada apa dengan keadaan interaksi mahasiswa asal desa dan kota? Latar belakang kita akan memengaruhi perilaku kita dengan orang lain. Bahkan dalam lingkup yang sangat mikro, keluarga misalnya, anak yang biasa dibentak oleh orang tuanya akan berperilaku sama kepada orang lain. Dari keluarga mana kita berasal, lingkungan rumah masa kecil ketika kita tumbuh besar, dan teman-teman sepergaulan kita sebelumnya membentuk field of experience yang sangat unik dan berbeda. Itulah mengapa pola interaksi kita akan sangat terpengaruh lingkungan kita.
Salah satu kata kunci yang sangat menjelaskan kenapa ada perbedaan pola interaksi adalah soal perbedaan makna dalam interaksi kita dengan orang lain. Ketika kita berhadapan dengan orang yang lebih kaya misalnya, sikap orang yang bertipe feodal akan mengannggap kekayaan membuat seseorang jadi lebih terhormat. Di lain orang, kekayaan tidak selalu menjadi sebuah elemen penting dalam memberikan rasa hormat. Ada perbedaan pemaknaan yang kita dapatkan dari perbedaan latar belakang dan lingkungan.
Barrier pola interaksi antara orang kota dan desa tentu saja tidak akan bisa kita hindari. Akan tetapi, interaksi antara kedua tipe orang inilah yang akan menyatukan field of experience yang dimiliki setiap orang. Kita semua melakukan konstruksi makna dalam interaksi dengan orang lain. Tentu saja selain itu interaksi harus berjalan transaksional agar masing-masing orang merasa dirinya dihargai. Interaksi tidak akan berjalan baik ketika salah satu pihak tidak memberikan feedback kepada lawan bicaranya.
Sebuah interaksi yang intens dan transaksional akan membantu setiap orang memahami lingkungan barunya dan keadaan orang lain. Persamaaan makna yang kita pertukarkan dalam interaksi akan menjadi bagian diri kita semua selanjutnya. Maka ketika orang desa dan kota mulai berinteraksi satu sama lain, masing-masing akan memahami posisi dan latar belakang lawan bicaranya. Ada saling berbagi pandangan umum tentang nilai dan pengalaman yang masing-masing miliki. Sehingga kemudian ada nilai baru yang terbentuk.
Persoalan siapa memengaruhi siapa dan siapa yang lebih dominan akan sangat bergantung kepada siapa yang berbicara dan kultur lingkungan kampus tempat mereka bertemu. Di saat mahasiswa tersebut memasuki kampus Fisip, lingkungan cenderung memberikan ruang kebebasan berpendapat kepada para mahasiswa. Kasus yang kontras akan terjadi ketika lingkungan tempat mereka berada di Fakultas Teknik. Di sana, sikap feodalisme yang biasa kita terjemahkan sebagai senioritas terasa kentara dalam pola interaksi antarmahasiswa dan dosen di Fakultas Teknik.
Dari perkembangan interaksi ini juga yang membuat konsep diri kita ikut berkembang. Konsep diri kita sebut sebagai kumpulan persepsi terhadap ke luar dan ke dalam dari diri kita. Apa yang kita anut selama ini dalam banyak aspek kehidupan kita dari mulai agama, norma, kebiasaan, dan lain-lain adalah urutan nilai yang telah membentuk konsep diri kita. Semakin lama kita hidup, selama itu pula konsep diri kita terus berkembang dari interaksi yang kita miliki dengan orang lain.
Saat seseorang berada di lingkungan yang baru, konsep diri yang ia miliki tentu saja belum tentu akan seirama dengan nilai yang dimiliki. Bahkan biasanya kita akan cenderung mengalami keterkagetan terhadap kondisi di luar konsep diri yang kita miliki. Istilah yang biasa gunakan untuk kasus ini, culture shock. Komunikasi transaksional itu lah nanti yang akan membuat seseorang memiliki konsep diri versi terbaru setelah nilai sosial di lingkungan baru telah terinternalisasi.
Terakhir, setelah konsep diri terus berkembang dan lingkaran pemahamannya semakin besar, perilaku kita pun akan berubah. Hal ini sangat wajar terjadi karena kita memiliki pemahaman baru yang secara langsung atau tidak akan memaksa kita melakukan penyesuaian. Ini semua tidak lain adalah proses dari kehidupan kita. Kita semua akan menyesuaikan diri kita sesuai dengan n ilai yang kita anut dan percaya.
Dari konsep diri yang baru, akan muncul sikap yang baru terbentuk dan ada sikap yang mulai kita coba hilangkan. Adalah sebuah hal yang tidak aneh ketika anak kecil bermanja-manja dengan orang tuanya. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya umur kita, konsep diri kita soal bermanja-manja pasti akan berubah menjadi mandiri. Dari interaksi dengan orang lain, kita punya konsep bahwa semakin besar diri kita maka kita harus semakin mandiri. Kesadaran akan pandangan ini akan menjadi sebuah konsep diri dan termanifesto dengan pola perilaku kita untuk jadi lebih mandiri dari diri kita yang dahulu.
Maka mahasiswa kota dan desa pun akan mengalami proses perubahan konsep diri yang kira-kira sama. Ketika masih dalam masa adaptasi dengan lingkungan studi dan teman-teman baru semua terasa malu-malu dan canggung. Setelah interakasi interaksional dan transaksional terjadi maka kita mulai saling sharing tentang status diri, dan lain-lain. Lingkungan kampus kemudian menjadi salah satu kunci selain interaksi dalam membentuk konsep diri. Tindak-tanduk yang muncul kemudian adalah sebuah hasil proses dari proses panjang tersebut. Entah orang desa yang menjadi asertif atau malah orang kota menjadi feodal. 

Thursday 17 March 2011

Leukimia Dan Antrian Donor Langka

Sore itu setelah diskusi Lingkar Studi Bulaksumur di selasar FEB UGM, gw makan malam bersama abi dan hadza. Di saat makan itu lah ada permintaan bantuan dari rumah sakit sardjito darah AB untuk pasien penderita Leukimia yang katanya bersamasalah limfoblastik gwt dan sedang bleeding. Kami mengkonfirmasi kebenaran permitaan tersebut sebelum memulai pencarian donor.
Setelah dikonfirmasi, kami langsung menebar informasi lewat sms dan twitter. Darah AB memang terkenal langka. Kami menemukan kesulitan mencari pendonor. Dua jam berlalu tanpa ada hasil satupun untuk pendonor. Kalau lewat twitter, bukannya tidak yakin, tetapi karena followers gw belum terlalu banyak jadi rasanya kurang efektif lewat sana. Update info lewat @JogjaUpdate pun tidak berbalas. Satu-satunya opsi yang tersedia hanya handphone.
Maka mulailah gw mengirim sms ke semua orang yang ada di phonebook bertanya golongan darahnya apa. Siapa tahu ada salah satu bergolongan darah AB. Untunglah gw punya lingkaran teman yang cukup banyak di Jogja ini. Mulai dari teman sekelas, JMF, Kopma, Gama Cendekia, ACT, konntrakan, dll. Respon teman-teman cukup baik, walaupun mereka tidak bergolonan darah AB, setidaknya mereka bersedia membantu menyebar sms.
Alhamdulillah, ada yang nyangkut 2 orang dari teman di komunikasi. Gw senang sekali dan segera meluncur ke Sardjito bersama Abi. Di sana, salah satu teman bilang bahwa ia tidak jadi mendonor karena tidak dibolehkan oleh dokternya. Well, gagal satu. Satu teman yang lain tetap datang dan melakukan tes kelayakan donor. Dan hasilnya gagal juga. HB-nya terlalu rendah. Masalah klasik pendonor mahasiswa: semalem begadang. Oke gagal lagi, gagal dua.
Jam menunjukkan pukul 10 malam ketika gw dan abi mulai putus asa. Rasanya sudah sampai di ambang batas yang tidak mungkin dapat pendonor AB. Akan tetapi, itu semua buyar saat ada sms masuk yang menawarkan donor darah AB. Alhamdulillah. Dari Satu orang yang pertama tanpa terasa datang lagi yang selanjutnya. Entahlah aneh sekali hingga akhirnya dalam dua jam berikutnya kami berhasil mengumpulkan 6 kantong darah AB. Semua berjalan begitu saja seakan-akan keran air yang macet akhirnya terbuka. Semua berawal dari satu handphone.
Sepulang dari rumah sakit Sardjito gw nonton Real Madrid dan baru tidur selepas solat subuh. Sungguh kemarin itu hari yang melelahkan. Sebenarnya setelah datang donor yang terakhir tadi malam tidak ada lagi satu pun yang sms ke hape gw. Akan tetapi, paginya jam 8-9 setelah bangun gw menemukan inbox handphone gw penuh dengan permintaan untuk menjadi donor darah AB. Saking banyaknya respon itu sampai gw harus bikin template yang sama “Alhamdulillah, terpenuhi mas/mbak 6 kantong darah pukul 12 td malam, lain kali, jika dibutuhkan kami akan hubungi kembali. Terima kasih banyak atas perhatiannya.” Public Relation banget yah.
Dan teror itu berlanjut, hingga saat tulisan ini dibuat saya yakin sudah menembus angka 60 orang yang mengajukan donor darah lewat sms dan telefon. Bahkan ada yang dari Jakarta mau menawarkan diri menjadi pendonor. Dari kasus ini juga gw menemukan ada komunitas golongan darah AB di Jogjakarta. 
Indahnya membantu orang lain sungguh sangat terasa. Tidak ada pembatas agama ataupun ras. Rasa kemanusiaan yang disentuh oleh penyakit Devy Oktaviani membuat semua orang tersentuh. Maka berbondong-bondong lah orang memforward sms itu. Direplikasi lagi ke twitter, facebook, dan lain-lain. Indah ya? Mirip-mirip koin untuk Prita. Lain kali harusnya bikin koin untuk Devy. 
Indahnya saling tolong menolong memang tidak akan pernah dirasakan jika belum kita coba. Ayo kawan, kita terus berlomba cari darah! Eh, saling membantu!

Social media and changes on influence

By Dewantara Arief Rahman, student of Communication Studies at Gadjah Mada University


Discussion made during UI Communication Week 2011 or Pekan Komunikasi UI 2011 at UI Campus Depok discovered the vast access that social media has created for people as well as its impact on media practice. Presenting the theme You Are The Media. This year, this annual program presented speakers: Dian Noeh Abubakar (Senior Vice President of Weber Shandwick Indonesia), Roby Muhamad (Chairman of AkonLabs, Lecturer at Universitas Indonesia) and Enda Nasution (Indonesia senior famous blogger) in one of its sessions: Media Matters. The seminar discussed the changes brought by social media in daily life.
Dian Noeh Abubakar shared about the notion of flat society, where common people now can reach out and communicate directly with high profile figures, Twitter, for example, can create less distance – digitally - between us and high profile figures around the world.
Speaker Roby Muhamad shared about influence, that when “common” people follow high profile people, the high profile people actually also try to get feedback from their followers [the common people]. This is mutual influence taking place.

Speaker Dian Noeh Abubakar pointed out these likely effects on the way media writes their news. Recently, some media used tweet of Indonesia footballer Irfan Bachdim and put is as quote for their news reports. This was after Indonesia team lost against Malaysia in AFF tournament 2010. Hence this shows that source of news may now be added with statement or conversation in social media. Chief Editor of Anteve, Uni Lubis, once said that conversation in social media [online] can shape off line news report, but when media present it, journalists use journalism principles / research.

Speaker Enda Nasution shared example of the story about Coin of Prita, which started from community then rolled out into a massive movement. Sharing and solidarity has been the trigger to the massive movement which started from digital space and became big story with reports in conventional media.

While speakers Dian Noeh Abubakar and Enda Nasution see social media can create buzz and conventional media adds the validity aspect to the stories, I see the role of citizen journalism which can drive information, rapidly, in society. I recall when Ambarrukmo Plaza Yogyakarta was on fire several months ago, the first information came from twitter with hashtag #infojogja. People captured and uploaded information using their mobile devices then shared to twitter, which caused many people who follow  @infojogja knew that information only in minute after the accident. So that’s is our world now, everyone can share info. Because, You Are The Media.

Ends



Balada Diculik dan Sandal Gunung


Siang itu, aku lagi kumpul bareng temen-temen ronin. Bersama-sama Ipul, Memey, Juju, dan Novan kami makan di sop buah Pak Ewok. Obrolan seru setelah satu semester berpisah karena kuliah diselingi dengan sebuah sms dari seorang teman ronin lain.
“Assalamualaikum, dewan ke badui yuk!” Ternyata si Hanifah yang sms.
Bunyi pesan dari si Hanifah, salah seorang teman ronin. Hmm, dulu memang pernah sih diajak pergi ke baduy, tetapi kalau sekarang terlalu mendadak untuk jalan-jalan yang serius. Maka aku bales saja,
“Aduh si Hanifah teh, mendadak pisan, ane kan ribet.”
Intinya perbincangan di sms selesai karena sudah menolak ajakan karena memang mendadak dan Hanifah pun sudah katakan “Ywdah nggak apa-apa.”
Akan tetapi, selang beberapa jam, datang lagi sms dari Hanifah
“Wan bsk beneran nggak bs? Bsk mau berangkatnya sama teman hnf yg dr ugm, berangkat paling siang.” Masih dengan pertimbangan tidak punya waktu yang dialokasikan untuk ke baduy walaupun sebenarnya mau ikut. Aku Cuma bisa jawab
“Bukannya ga mau, tp waktu’y g pas --‘,” Hanifah menyerah? Ternyata tidak.
“di pas-pasin aja...”
Hueeeeeeeh, ini intention-nya bukan ngajak, tetapi lebih tepatnya memaksa. Perbincangan selanjutnya pun diisi dengan ‘upaya’ persuasif agar aku betul-betul mau ikut pergi. Pada akhirnya aku pun tidak lagi bisa menolak tawaran jalan-jalan ke baduy. Alasannya adalah tidak ada cowok yang ikut pergi dari 4 orang yang akan berangkat. Walaupun sebenarnya tanpa cowok pun pasti tetap aja ga bakal ga jadi jalan-jalan ke baduy. Itu kata Salsa, teman seperjalanan dari jurusan arkeologi yang akan ketemu nanti di Rangkasbitung.
 Untunglah negosiasi izin ke orang tua tidak berjalan sulit. Karena agenda survey pesantren di daerah bekasi tidak jadi, sehingga aku tidak punya kewajiban untuk hari ahad dan senin. Setelah itu sedikit beres-beres pakaian sesuai dengan yang diperintahkan oleh pengajak jalan-jalan. Karena memang tidak ada yang punya pengalaman jalan-jalan ke baduy, ada sebuah kesalahan fatal. Membawa bekal kaos berwarna putih. Kenapa fatal? Karena ternyata kemudian kondisi jalan yang berbukit curam ditambah musim hujan membuat trek yang ditempuh jadi cukup sulit. Well, hal yang paling anarkis lagi adalah baju itu adalah satu favorit buat jalan-jalan. Hasilnya, sepulang dari baduy baju itu harus dicuci habis-habisan dan masih belum bersih 100%.
Ok, back to the journey
Paginya aku dan Hanifah menunggu bus jurusan Rangkasbitung-Bogor di pertigaan Laladon. Setelah menunggu seperempat jam, kira-kira pukul sembilan bus yang ditunggu pun datang. Kondisi bus sebenarnya cukup penuh, tapi Alhamdulillah setelah sampai kira-kira di daerah Jasinga, ada juga tempat duduk yang bisa diisi. Di dalam bus itu pun aku berkenalan dengan seseorang yang bersedia menunjukkan jalan nanti di Rangkasbitung menuju kampung Baduy. FYI, tidak ada satu pun dari kami yang pernah pergi ke kota Rangkasbitung sebelumya. Satu-satunya masalah di bus adalah ongkos jalan yang cukup mahal, 25ribu per orang! Hueeeh, padahal dengan kereta, si Salsa dari jakarta cuma keluar 2 ribu perak!
Kira-kira pukul setengah dua belas kami pun sampai di terminal Rangkasbitung. Keluar bus kami diserbu oleh banyak tukang ojek yang menawarkan jasa. Alhamdulillah, untung kami sudah bersama ’guide’ sehingga tidak perlu lagi tanya-tanya soal arah dan angkutan yang harus kami naiki.
Serbuan tukang ojek ternyata tidak cukup dengan penolakan secara halus. Mereka terus membuntuti dengan motornya dan semi memaksa untuk ikut mengambil jasa ojeknya. Yah, kesabaran itu memang tidak ada batasnya. Akan tetapi, gerutuan itu akhirnya tidak bisa dibendung. Tapi betul kata Hanifah, “Udah nggak apa-apa, mereka kan lagi cari duit, maklum sedikit lah!” Ya sudahlah, toh tidak jauh pun kami akhirnya ada angkot yang bisa kami naiki.
Kepada akang guide, kami mengutarakan maksud untuk menjemput satu lagi teman yang akan datang dengan kereta. Selain itu kami juga mencari pasar untuk berbelanja untuk konsumsi selama di kampung Baduy. Untunglah sesuai dengan petunjuk si akang bahwa stasiun, pasar, dan angkot kedua yang harus kami naiki berada di satu tempat. Mungkin daerahnya mirip-mirip seperti daerah Pasar Senen atau Pasar Anyar.
Karena Salsa memberi kabar bahwa dia masih berjarak tiga stasiun dari stasiun Rangkasbitung, aku dan Hanifah memutuskan untuk mencari bahan pangan dan beberapa keperluan pribadi. Belanja pertama kami menguras uang sebesar 21ribu rupiah. Yah, masih cukuplah uang buat ke baduy, pikirku. Maka keinginan untuk ambil uang di atm aku tepis jauh-jauh.
Tidak lama setelah shalat Dhuhur dan Ashar yang di-jama’ qashar, kereta yang ditumpangi Salsa sampai dan tim kami pun lengkap tiga orang. Dua orang lain cancel datang karena ada keperluan lain. Sebelum pergi, kami menyempatkan untuk makan siang. Harga makan siangnya cukup mahal, Rp10.000,- per porsi. Ironisnya si penjual mengucapkan harga tadi dengan embel-embel harga mahasiswa. “Yah, harga mahasiswa mah, 10rebu aja dah!” Glek, emang susah jadi mahasiswa Rangkasbitung, mending jadi mahasiswa Yogya deh.
Dari dekat stasiun, kami pun melanjutkan perjalanan ke terminal Aweh. Di terminal Aweh nanti ada mobil minibus yang akan mengantarkan ke pinggir kampung Baduy. Perjalanan di mobil minibus memakan waktu selama satu setengah jam. Diselingi dengan tidur, hujan, dan kebocoran akhirnya minibus sampai di pinggir kawasan Baduy, terminal Ciboleger. Ya, tidak bisa dibilang terminal juga sih, lebih tepat dikatakan tempat transit saja.
Walaupun sudah berada di pinggir kawasan Baduy, ternyata arus kapital sudah menjangkau daerah sana. Terbukti dengan berdirinya sebuah ritel franchise terkenal biasa kita temukan di kota. Turun dari minibus, kami langsung didatangi oleh seorang calo. Sebuah keniscayaan semua tempat pariwisata. Lapangan pekerjaan yang orientasinya pemerasan terhadap wisatawan. Akan tetapi, keadaan kami sangat awam soal pariwisata ke kampung Baduy. Sehingga keberadaan calo berada  bagi kami dan banyak wisatawan lain bagaikan malaikat penolong.
Di salah satu warung, kami pun dijelaskan soal keadaan kampung Baduy dan trek yang harus dilalui jika ingin masuk hingga ke kampung Baduy dalam. Jaraknya ke baduy dalam sekitar 12 kilometer dan harus ditempuh dengan jalan kaki. Ada masalah lain sebenarnya. Bukan soal trek yang cukup jauh, tetapi kami di bulan larangan, Kawalu istilahnya. Di dalam bulan Kawalu sebenarya pihak kampung Baduy dalam tidak memperbolehkan ada satu orang asingpun yang memasuki ke wilayah mereka.
Semangat kami turun drastis. Bayangkan perjalanan ke Rangkasbitung buka termasuk murah dengan bus seharga 25ribu perak! Bagaimana ini? Akan tetapi, calo itu memberikan info celah kesempatan yang bisa kami gunakan untuk tetap jalan ke Baduy dalam. Katanya bisa saja kita masuk ke Baduy dalam asal bilang ingin ketemu ke kepala suku untuk silaturahim dan minta doa. Syaratnya selain biaya untuk kepala suku kami cukup membeli minyak dan kemenyan. Sebenarnya kami bingung juga soal mekanisme tersebut. Katanya bulan larangan, tapi kok bisa aja masuk ke Baduy dalam. Si calo itu meyakinkan kami juga dengan bilang baru saja mengantar rombongan lain masuk Baduy dalam beberapa jam sebelumnya. Soal beli minyak dan kemenyan juga terasa ganjil. Ah, entahlah untuk saat ini, yang penting bisa masuk ke Baduy dalam sudah sangat bagus. 
Maka, kami pun harus lapor dulu kepada lurah Ciboleger dahulu untuk izin masuk. Di buku izin, kami tentu tidak mungkin menulis “jalan-jalan” jadi aku ganti jadi: survey. Dan seperti biasa birokrasi Indonesia, harus berduit. Bersama buku tamu yang telah aku isi, diselipkan uang sepuluh ribu. Ya sekedarnya, anggap saja seperti tiket masuk.
Di awal perjalanan kami sempat terkagum dengan tanaman padi yang ditanam kering. Ternyata ada ya, spesies tumbuhan padi yang ditanam seperi ubi dan singkong saja. Ditanam tanpa aliran air seperti padi yang biasa saya lihat di banyak tempat.
Belum jauh berjalan, calo yang kini ditemani seorang teman mengajak kami untuk membicarakan soal tarif perjalanan. Ia jelaskan bahwa biaya yang harus kami keluarkan sebesar 300 ribu. Rinciannya masing-masing seratus ribu untuk jasa guide, kepala suku atau Pu’un, dan biaya menginap. Kami cukup kaget dengan harga yang dipasang oleh calo. Masalahnya adalah uang kami memang sangat terbatas apalagi setelah harus belanja kemenyan dan kebutuhan makan untuk di Baduy dalam.
Seluruh uang yang ada di kantong pun kami satukan sehingga terkumpul 220ribu. Itu pun sudah dikurangi untuk ongkos pulang sebesar 15ribu per orang sampai kota Rangkasbitung. Si calo sebenarnya cukup keberatan karena uang kami tidak sampai 300rb. Akan tetapi, daripada tidak ada sama sekali lebih baik diambil saja kan. Logika sederhana yang bisa kami simpulkan ketika dia menyetujui maksimal jumlah uang yang bisa kami berikan.
 Setelah negoisasi harga selesai, si calo yang kami kira akan jadi guide kami ke baduy dalam malah turun kembali ke terminal Ciboleger. Ternyata guide yang sebenarnya itu justru teman si calo yang baru saja ikut sesaat sebelumnya. Guide kami namanya Kang Sarid. Dari dia kami tahu bahwa si calo memang tidak pernah ke baduy dalam lagi. Faktor fisiknya yang cukup gemuk serta medan yang berbukit membuatnya tidak lagi mampu ke baduy dalam. Kebohongan pertama yang langsung terungkap.
Kecurigaan pertama

Ada hal aneh yang aku lihat soal perilaku calo. Setelah negosiasi selesai, si calo ternyata kembali ke Ciboloeger bersama dengan uang yang baru saja kami berikan. Dia tidak menitipkan uang sepeser pun kepada Kang Sarid, guide kami. Padahal, dua per tiga dari uang itu seharusnya mengalir ke kantong pemilik rumah tempat menginap kami nanti dan kepala suku. Kalau dia turun ke Ciboleger, kapan diberikan uangnya?
Anjing bergongong kafilah tetap berlalu. Petualangan baru saja akan dimulai. Biarlah kecurigaan ini menjadi bumbu perjalanan kami. Menurut penuturan kang Sarid, kami harus menempuh jarak kira-kira dua belas kilometer dengan berjalan kaki. Biasanya perjalanan itu memakan waktu empat sampai lima jam. Tepat pukul lima sore kami memulai perjalanan yang sangat nantinya sangat inspiratif.
Selama perjalanan kami dihadapkan dengan medan yang berbukit-bukit. Ditambah dengan hujan yang menjadi salah satu dinamika perjalanan. Sebenarnya Hanifah sudah bilang untuk membawa jas hujan. Tapi ya tetep tjas hujan karena tidak bawa karena memang tidak punya. Untung Salsa membawa payung dan jas hujan sekaligus. Jadi, sementara dia menggunakan jas hujannya,aku yang pakai payungnya.
Ada satu momen dalam perjalanan tersebut yang kami pikir itu adalah salah satu yang terbaik selama perjalanan. Jadi, di ujung petang kami sedang dalam posisi menaiki bukit yang cukup curam. Bagiku pribadi saat itu adalah pertama kalinya berada di satu ketinggian tertentu yang melihat dari tempat yang cukup tinggi, tanpa kerlap-kerlip lampu kota. Sejauh mata memandang hanya abu-abu dan gelap perbukitan. Kami duduk beristirahat sejenak menikmati momen yang sangat indah itu.
Sepanjang perjalanan, medan yang berbukit ditambah licin karena hujan membuat aku dan Hanifah yang memang tidak biasa naik gunung menjadi sering terpeleset. Bahkan di beberapa titik kita terpaksa ngesot saja karena medannya terlalu licin dan curam. Sedangkan salsa begitu tangguh berjalan tanpa sekalipun terpeleset. Ya wajarlah, jam terbang menentukan kemampuan. Masa iya anak gunung masih sering jatuh terpeleset.
Kami terus berjalan di tengah terpaan angin yang dingin dan rintik hujan yang tak kunjung berhenti. Diisi dengan diskusi hangat khas anak sosial yang sangat hidup. Saat itu topik hangatnya masih soal PKI. Masih hangat-hangat materinya pascadiskusi di Goethe Institut. Sayang Hanifah diam saja menyimak aku dan salsa berbicara. Wajar sih, anak kluster kesehatan  jadi tidak terlalu nyambung ngobrol soal sosial.
Kami berjalan tanpa tahu kapan perjalanan berakhir. Hanya saja kami tidak ingin membicarakan soal jarak perjalanan. Sudah tiga setengah jam perjalanan kami dan sudah satu setengah jam kami berjalan dalam gelap. Beberapa kami dilewati oleh beberapa warga asli baduy yang berjalan tanpa penerangan. Kalaupun ada hanya mereka hanya berbekal satu buah lilin. Hal yang sangat ajaib menurut kami mengingat kegelapan hutan. Dengan menggunakan dua senter yang cukup terang saja rasanya masih sulit, apalagi hanya dengan lilin.
 Akhirnya kira-kira pukul setengah sembilan malam akhirnya kami sampai di perkampungan Baduy dalam. Haha, akhirnya perjalanan ini pun berakhir.Keadaan kampung begitu hening dan gelap. Tidak ada suara dan cahaya yang menerangi jalan. Aku seperti terlempar ke tiga abad yang lalu di mana manusia hidup tanpa listrik.  Semua rumah pun dibangun secara tradisional dengan menggunakan bambu dan kayu. Jalan setapak dibuat dari batu kali yang dihamparkan begitu saja. Ya mirip-mirip dengan kita lah jalan dibangun khusus dengan aspal.
Kami tidak bisa berlama-lama berada di luar karena Kang Sarid juga sudah memasuki salah satu rumah. Kami satu-satu masuk dan bersyukur akhirnya bisa duduk dan melempengkan kaki lagi. Hueeeh, kaki ini rasanya mau copot saja. Jujur secara pribadi perjalanan ini sangat berat. Aku tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Rumah itu hanya diterangi dengan sebuah lilin yang ditaruh agak tinggi agar menyebarkan cahaya lebih merata ke seluruh ruangan. Rumahnya sangat kosong melompong tanpa ada furniture. Ada tumpukan karpet di salah sudut ruangan. Di dalam rumah tersebut ada satu kamar khusus yang kami perkirakan sebagai ruang privat tuan rumah yang menyatu dengan dapur dan tempat menumpuk perabotan dapur.
Saat memasuki rumah tersebut kami mendapati tiga orang berada di dalam rumah. Salah satunya seorang ibu yang menghamparkan banyak bungkusan makanan di depannya. Ternyata apa yang terhampar di depannya adalah barang jualan. Oh ternyata kalau soal makanan, orang Baduy dalam mau menerima.
Di rumah kami berkenalan dengan pemilik rumah dan ngobrol-ngobrol. Namanya sudah lupa sih. Untunglah sedikit-sedikit aku bisa bahasa Sunda. Jadi ya lumayan nyambung lah. Setidaknya bisa jadi jembatan antara Hanifah-Salsa dengan tuan rumah. Sebelum makan, kang Sarid mempersilahkan kami ganti baju di salah pojokkan kamar yang ditutup dengan karpet yang digantung.
Sembari menunggu makanan siap, kami meminta izin untuk solat kepada tuan rumah. Awalnya kami bingung di mana tempat untuk berwudhu. Karena tentu saja tidak ada keran dan kamar mandi di rumah itu. Akan tetapi, kemudian kang Sarid menunjukkan beberapa batang bambu yang ternyata digunakan sebagai tempat menampung persediaan air. Dari air itulah kami gantian berwudhu kemudian solat Maghrib dan Isya. Tidak menunggu terlalu lama, makanan yang kami bawa akhirnya selesai dimasak oleh ibu tuan rumah. Hidangannya hanya biasa saja; nasi dan mie rebus. Faktanya terasa lebih istimewa karena perjalanan dan kelelahan setelah berjalan begitu jauh.
Awalnya kami bingung karena tidak ada sendok yang umumnya digunakan untuk makan mie rebus. Salsa bahkan sudah memulai lebih dahulu acara makannya tanpa ribet soal sendok. Akan tetapi, ternyata tuan rumah hanya telat menyediakan sendok kepada kami. Untunglah kami tidak jadi harus makan mie rebus dengan tangan kosong. Ada senyum simpul yang bisa aku dan hanifah berikan kepada Salsa ‘keburu’ mulai makan.
Setelah makan dan melanjutkan obrolan soal budaya dan nilai yang dianut oleh Suku Baduy, kami dipersilahkan tidur. Ya karena memang space nya tidak ada sekat sama sekali, antara Salsa-Hanifah dengan aku dan kang Sarid hanya dibatasi dengan sepotong kayu. Tentu saja tidak samping-sampingan, perbatasannya ada di antara kepala-kepala kami. Keadaan darurat.
Hujan masih terdengar rintik di luar dan ketika sudah rebahan tiba-tiba alergi dingin yang sejak tadi terpending selama perjalanan akhirnya keluar juga dengan bersin. Pasti karena faktor kehujanan tadi. Aku mencoba minum air panas yang disediakan tuan rumah. Jaket dan sarungku basah sehingga mustahil digunakan sembari tidur. Untunglah Hanifah bawa pakaian cukup banyak. Aku dipinjamkan salah satu jaket dan sarungnya menggantikan milikku yang basah itu. Plus ada minyak kayu putih untuk menghangatkan perut. Walaupun efeknya sangat buruk: sebotol minyak kayu putih itu kemudian malah hilang setelah aku gunakan.
Subuh-subuh kami dibangunkan dengan dering alarm dari handphone-ku dan Hanifah. Hape zaman sekarang walau sudah dimatikan tetap otomatis nyala fitur alarmnya. Mencoba berdamai dengan dingin yang menusuk dan mengambil air wudhu. Karena Kang Sarid masih tertidur, kali ini Salsa yang menyiramkan air untuk aku berwudhu untukku. Untuk shalat subuh ini, aku berusaha agar suaranya dibuat minimal tapi tetap terdengar ke dua akhwat di belakang itu. Maklumlah, kalau terlalu kencang rasanya sangat tidak etis karena mereka kan memang tidak shalat dan masih tertidur.
Setelah shalat, kami bingung sebenarnya mau ngapain. Tidak ada hal spesifik yang bisa dikerjakan. Mau tilawah penerangannya pun tidak memadai. Jadi lah kami beringsut ke luar dan memandang bintang di langit. Entah apa penjelasan ilmiahnya, hanya saja langit kala malam hingga subuh di dataran tinggi selalu bertaburan bintang. Bercengkrama sambil mengobrol ringan menjadi pembunuh waktu paling efektif yang bisa kami lakukan. Hingga akhirnya hari mulai terang, penghuni rumah satu per satu pergi ke sungai untuk mandi. Ada juga beberapa bocah yang melewati kami sembari membawa peralatan tani. Siklus regenerasi tani yang masih berjalan.
Pukul tujuh kang Sarid meminta kami bersiap untuk menemui sang raja suku Baduy, Pu’un. Menemui Pu’un adalah salah satu prosedur penting yang harus kami lakukan mengingat kami memasuk wilayah Baduy di bulan Kawalu. Alasannya adalah jika bukan untuk memenuhi keperluan yang sangat penting dengan cara ‘minta’ doa kepada Pu’un sulit untuk masuk. Ya kami karang saja lah mau apa kek itu nggak penting. Karena kami sadar bahwa ini kan masalah aqidah.
kami harus menemui Pu’un di rumah ladangnya yang terletak sedikit memisah dari perkampungan. Masih harus naik bukit dulu. Ya anggap saja pemanasan untuk jalan pulang. Pu’un yang kami temui ternyata tampangnya biasa saja. Secara pribadi ya dia memang sedikit, asli sedikit doank, terlihat kharismanya sebagai seorang raja atau kepala suku. Di awal perbincangan dia basa-basi menanyakan nama-nama kami.
Lalu kami pun memasuki acara inti. Bertiga plus kang Sarid, kami memasuki rumah ladangnya. Setelah duduk melingkar, Pu’un menanyakan maksud dan tujuan kami datang. Kang Sarid berperan sebagai juru bicara menyatakan kami datang untuk silaturahim dan meminta jampi-jampi agar nilai-nilai kuliah pada bagus. Yes, whatever lah we don’t care.
Prosesi pun dimulai, menyan dan minyak yang kami beli di Baduy luar diberikan kepada Pu’un. Selanjutnya mirip-mirip lah dengan adegan mbah dukun yang biasa kita tonton di televisi atau bioskop. Aku hanya menunggu dan termenung dengan pikiran melayang-layang soal pulang daripada nungguin Pu’un komat-kamit kelamaan. Akhirnya prosesi panjang itu diakhiri dengan tiupan Pu’un ke tangan-tangan kami. Dia mengembalikan minyak dan menyan untuk dibawa pulang. Pesannya kepada kami “kalau mau pergi, menyannya dibakar dulu di kamar. Terus minyaknya diolesin ke bawah mata dan pakaian.” Kami menganggukkan kepala sembari menerima minyak dan menyan itu.
Sebelum keluar Pu’un kembali berpesan, “Nanti setelah keluar rumah tahan nafas tiga langkah dan ga boleh nengok sepanjang tujuh langkah.” Kami hanya diam dan pastinya tidak melakukan menahan nafas sesuai perintah Pu’un. Hanya saja kami tidak menengok karena harus menghormati Pu’un. Kalau nafas kan enggak bakal kelihatan. :p
Kami kemudian kembali ke rumah dan menyantap sarapan yang telah disediakan. Menunya masih sama, mie rebus dan nasi. Hanya saja kali  ini ada tambahan telor asin yang Hanifah beli di terminal Aweh. Usai makan kami segera berkemas karena harus segera keluar dari kampung. Bulan Kawalu membuat kedatangan kami tidak bisa diketahui banyak orang.
Di awal perjalanan kami dijanjikan oleh kang Sarid akan melewati jembatan bambu yang legendaris. Soal medan jalan pulang, topografinya sangat mirip dengan saat keberangkatan kemarin. Tetap berbukit-bukit terjal. Untungnya kali ini tidak terlalu licin seperti kemarin karena memang tidak sedang hujan. Uniknya justru pada saat itu lah Salsa malah terpeleset. Sekali-kalinya dia bisa terpeleset begitu selama perjalanan. Sayang tidak terlalu becek, jadi roknya tidak kotor seperti yang Hanifah dan celanaku alami kemarin.
Di jalan, beberapa kali kami berpapasan dengan orang-orang Baduy baik yang sudah dewasa maupun anak-anak. Saya membayangkan anak-anak balita hingga sepuluh tahun sudah harus beradaptasi dengan topografi wilayah yang menurutku cukup berbahaya dan mengerikan.
 Setelah menuruni salah satu bukit yang sangat terjal dan terbuka kami pun sampai di salah satu jembatan bambu terbesar yang suku Baduy miliki. Entah sudah berapa tahun umur jembatan ini karena di beberapa bagian ada yang sudah lapuk. Walaupun secara keseluruhan, jembatan itu terlihat masih sangat kokoh.


Dan karena view sungainya begitu bagus. Kami tidak sabar untuk tidak melakukas sesi pemotretan di tempat ini. Masa sih, sudah jalan jauh-jauh ga ada foto-fotonya sama sekali. Air sungai yang sangat jernih membuat kami tergoda untuk turun. Kalau tidak sekarang, kapan lagi bukan? Haha.
Kang Sarid berubah profesi sejenak menjadi tukang foto amatir untuk untuk kami bertiga. Sayang tidak ada foto yang memotret jembatan dari bawah. Betul-betul terlupa! Sayang sekali karena entah kapan lagi bisa menyempatkan diri ke baduy.


Perjalanan masih cukup jauh sebenarnya. Kami melewati beberapa perkampungan Baduy luar. Di sana peraturan adat sudah tidak terlalu ketat. Salah satu pekerjaan utama penduduk sana adalah menenun. Kegiatan ekonomi yang telah menghidupi penduduk Baduy luar selama bertahun-tahun. Di Baduy luar kami mendapati penduduk tidak berpakaian warna hitam dan putih saja. Kata kang Sarid untuk baduy luar sudah bebas menggunakan warna apa saja. Tidak seperti di baduy dalam yang hanya boleh menggunakan berpakaian hitam dan putih.
Lelah. Itulah perasaan terbaik aku di setengah perjalanan pulang. Treknya yang lebih panjang dan siang hari membuat perjalanan kali ini menjadi lebih melelahkan daripada kemarin. Akan tetapi, ya jujur saja aku tidak mungkin menye-menye minta istirahat terus. Selain karena memang sedang mengejar angkutan terakhir, juga karena aku Cuma cowok sendirian maka gengsi gan! Hueeh, mau ditaroh ke mana muka gw melas-melas minta istirahat ke cewek gunung yang entah sudah berkali-kali sampe puncak gunung. Oke, teori gengsi, atau lebih kita kenal aktualisasi diri sedang berjalan. Jadi, semangat!
Sampai jam setengah dua belas kami masih tidak tahu kapan akan sampai di Ciboleger. Lagi-lagi tidak ada yang ingin menyinggung soal jarak atau waktu akan sampai di ujung perjalanan. Berbicara soal itu hanya akan membuat perjalanan semakin berat. Tapi perjalanan akhirnya berakhir ketika kang Sarid tiba-tiba menghilang. Kami kehilangan jejak untuk melanjutkan perjalanan. Mencoba berjalan berbekal petunjuk arah dari seorang anak kecil yang katanya dari Cibologer. Dan akhirnya di balik sebuah rumah, jaraknya terlihat cukup dekat, terlihat gedung SD dan patung angklung. Tanda kami sudah sampai di Ciboleger. Alhamdulillah. 
Di Ciboleger, kami sempatkan untuk foto-foto di depan pintu gerbang baduy pesanan ibu salsa. Setelah itu, dua ibu-ibu yang sudah ngebet mandi itu meminjam kamar mandi di salah warung makan. Kalau aku bukannya ga mau tapi memang ga ada persiapan sama sekali untuk mandi. Jadi ya sudahlah istirahat aja, mandi pun belum tentu ada yang terpesona lah.
Satu lagi penipuan
Selagi istirahat itu kang Sarid memberi tahu aku bahwa harus lapor dulu ke sopir angkot yang akan membawa kami ke kota Rangkasbitung. Ya sudah, laporlah aku bahwa kami akan berangkat hanya dengan tiga orang. Beres. Kemudian tidur-tiduran lagi, istirahat. Akan tetapi, kang Sarid datang lagi memberitahukan kalau angkotnya tidak mau berangkat hanya dengan tiga orang penumpang. Rugi solarnya dia bilang.untuk itu saja sudah habis 70rb rupiah sekali jalan. Kalau hanya bertiga enggak bakal balik modal. Jadi kita harus carter tuh mobil 200rb sampe Rangkasbitung. Nanti pun kalaupun ada penumpang 1-2 orang ya gpapa lah masuk aja. Begitu katanya. 
DOH!
Ini aku udah mau pulang tiba2 ada masalah lagi.  Apa-apaan pula duit tinggal 45ribu buat pulang bertiga malah dipalakin 200 rebet. Ini udah ga beres bawaannya. Aku udah yakin ini semua hanya skandal yang dibuat oleh si SARID sama SOPIR itu. Tapi tenang dulu, kami masih di kandang orang. Salah-salah malah kami yang dikeroyok dan ga bisa pulang lagi. Salsa dan Hanifah akhirnya selesai mandi dan aku utarakan apa yang tadi sudah dibicarakan ama SARID.
Kami putuskan untuk memulai negosiasi sekali lagi. Tidak mungkin kami menyerah begitu saja dengan keadaan yang sedang di-setting oleh SARID dan SOPIR itu. Huh! Setidaknya kami berhasil menurunkan harganya sedikit jadi 150rb. Kami mengkalkulasi kemungkinan lain untuk pulang. Pinjam motor ga mungkin, ojek ga ada, jalan kaki? Mungkin sih, tapi kami masih sangat lelah setelah perjalanan sebelumnya. Secara mental dan fisik kami sangat tidak siap. Dengan mobil saja ke Rangkasbitung butuh waktu 1-2 jam. Apalagi jalan kaki???
Oke, akhirnya kami deal dengan perjanjian, “kami MENCARTER mobil seharga 150ribu, kalaupun ada penumpang di tengah jalan boleh masuk 1-2 ORANG SAJA.”
Sialnya deal tinggal deal. Tidak ada 10 menit mobil CARTERAN kami berjalan, tiba-tiba ada banyak penumpang masuk hingga mobil menjadi setengah penuh. Wow! Ini SOPIR sableng apa dodol sih. Oke, baguslah. Ini celah penting melakukan renegosiasi soal tarif CARTER itu. selama perjalanan kami mencatat setidaknya ada empat belas orang turun naik mobil CARTERAN. Sebenarnya apa sih definisi CARTERAN? Ini kan sama ja seperti kita naik taxi. Bayar untuk semobil dan tidak boleh ada penumpang lain masuk. Tapi apa-apaan ini???
Yah kami putuskan untuk melakukan renegosiasi di terminal Aweh nanti. Pastinya mobil ini akan berhenti di sana. Perjalanan masih sangat jauh. Aku kembali tertidur. Walau harus kerap kali terbentur besi jendela dan ditertawai dari belakang. Akan tetapi, kami terkecoh dan tiba-tiba si SOPIR bertanya mau ke ATM mana untuk mengambil uang. Gut! Ini kurang ajar sekali sekonyong-konyong nanya ATM. Huh, kami putuskan untuk  segera turun tidak jauh dari salah satu bank milik pemerintah.
Nih aku kutip aja tulisan si salsa karena ga ikut perdebatan dengan SOPIR secara lengkap,

Sampai di Rangkasbitung, sopir menurunkan kami di depan ATM BRI. Bukannya bergegas mengambil uang, kami justru meminta sopir turun. Dewan mengawali negosiasi ulang dengan bahasa Sunda. Karena gatal tidak sabar, saya menimpali, dalam bahasa Indonesia tentu saja. Intinya, kami bersikeras tidak mau bayar Rp 150.000,00 dan ingin bayar dengan tarif normal, karena ternyata si sopir melanggar perjanjian. Kalau penumpang penuh seperti ini sih, bukan carter mobil hitungannya, tapi penumpang biasa. Sopir berkata, memang biasanya seperti itu. What?! Jadi dia memang sudah biasa melakukan modus penipuan seperti ini?! Situasi semakin memanas. Dewan beringsut mundur mengambil uang. Tinggallah saya berdebat dengan sopir elf, di depan penumpang lain yang menatap ingin tahu. Pada saat penumpang lain sepertinya mulai berpihak pada kami, sopir mengatakan sesuatu pada mereka, dalam bahasa Sunda. Para penumpang itu mengangguk-angguk mendengarkan perkataan sang sopir, dan saya jadi geregetan sendiri. Oh God, saya nggak ngerti dia ngomong apaa!! Di tengah suasana seperti itu, Dewan kembali dari ATM. Sopir yang melihat keadaan mulai tidak menguntungkan dirinya akhirnya mengambil jalan tengah.

“Ya udah, bayar seratus ribu aja!” tukas sang sopir keras. Akhirnya, sambil menggemeretakkan gigi, saya mengambil uang dari tangan Dewan dan menyerahkannya pada si sopir.

“Oke, kami bayar seratus ribu. Tapi perlu diingat, perjanjian awal kami adalah kami carter mobil seratus lima puluh ribu, dan sopir bisa menaikkan 2-3 penumpang lain. 2-3 orang, bukan penuh seperti ini,” desis saya perlahan, penuh tekanan. “Ayo pergi!”

Well, kira-kira begitulah episode melawan mafia pariwisata yang kami alami. Terakhir sebelum pulang dengan kereta api, atas permintaan Hanifah kami menyempatkan diri untuk makan dulu di salah satu warung soto depan alun-alun. Mengingatkan aku dan Salsa yang hilang rasa laparnya karena adu bacot tadi.
Setelah perjalanan tiga jam menggunakan kereta kami sampai di stasiun kota. Di sana kami berpisah jalan karena aku harus menuju bogor. Sedangkan Salsa dan Hanifah menuju Bekasi dan Kalimalang. Sembari menunggu kereta ekonomi ac datang di rel 11, aku membuang minyak yang telah didoakan Pu’un yang katanya akan memberikan kami IPK bagus ke rel. Biar riwayat minyak itu berakhir seiring dengan usainya cerita perjalanan ini. []
Sunday, 6th of march 2011, 15:49 p.m

Wednesday 9 March 2011

social media and our life

Sedikit poin yang didapatkan dari seminar media matters, PEKOM UI 2011

Mbak Dian Noeh Abu Bakar, Senior Vice President, Weber Shandwick / Indonesia.

Saat ini kita berada dalam zaman new media yang sangat dinamis dibanding dengan conventional media. Perbedaan paling kentara di soal flat society yang sama-sama kita rasakan saat ini. Bersama new media kita tanpa sadar memiliki akses langsung ke banyak orang-orang yang secara logika old media tidak akan atau minimal sulit terjangkau. Dengan menggunakan twitter, khususnya, kita bisa saja follow orang-orang terkenal sesuka hati kita. Dunia yang seakan-akan vertikal terhadap orang-orang di pemerintahan atau idola kita, menjadi flat tanpa hambatan.

Ya, karena itu juga kita mudah sekali memengaruhi atau dipengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu. Memang ada teori kampanye sosial atau apalah. Akan tetapi, minimal, channelnya sudah tersedia. New media kini telah melahirkan: online shape offline. Koin untuk prita dalam skala nasional dan gelombang demokratisasi di timur tengah dalam skala internasional adalah bukti konkret adanya pengaruh new media ke dalam kehidupan riil manusia.

Bahkan kini, hanya dengan twitter seseorang yang menjadi public figure, wartawan bisa saja mengambil twit-nya menjadi beberapa paragraf berita. Benarkah? Itu fakta. Ada dua kasus yang saya ketahui. Pertama yang diulas oleh mbah diah, setelah timnas Indonesia kalah tandang 3-0 oleh malaysia Irfan Bachdim menulis di twitternya, “Ih, sebel deh kalah,” (kira-kira begitu). Hanya dengan twit sederhana itu seorang juru berita berhasil membuat tiga paragraf berita. Kasus kedua dari peristiwa Angelina Sondakh yang beberapa waktu lalu baru saja kehilangan suaminya. Sekitar tujuh hari setelah wafat, enji, panggilan akrab beliau, menulis di akun twitternya, “aku masih belum bisa ikhlas atas kepergian Mas Adjie.” (intinya begitulah). Hanya dari itu, beberapa acara infotainment dansi tus berita detik, kalau ga salah, membuat berita soal kesedihan si Angelina Sondakh.

Kalau dulu wartawan mendapat berita hanya dari press release dan sesi tanya jawab yang disediakan. Karena komunikasi media konvensional cenderung satu arah. Akan tetapi, saat ini wartawan bisa menjaring informasi dari semua arah untuk memproduksi sebuah berita. Wartawan akan menjaring berita dari semua arah yang bisa ia capai. Dari blog orang, dari obrolan di twitter, press release, dan lain-lain.

New media saat ini tidak hanya menjadikan rintangan komunikasi kita menjadi flat, tetapi juga men-trigger pola komunikasi masyarakat kita menjadi bersifat partisipatori. Budaya komunikasi dua arah kini mulai menjadi budaya dan memang dengan itulah kita membangun komunikasi kita. Komunikasi dua arah itu pula yang membuat speed informasi menjadi sangat luar biasa cepat. Kita mulai tidak terbiasa dengan kedalaman berita. Karena dengan twitter, kita umumnya hanya tahu deadline berita saja.

Di zaman new media ini, banyak dari kita yang menjalankan profesi, sadar atau tidak, sebagai citizen journalism. Arus informasi yang begitu deras dari masyarakat akar rumput membuat tingkat kepercayaan kita terhadap banyak orang, bahkan yang kita tidak kenal, menjadi tinggi. Saya teringat ketika mal ambarukmo plaza terbakar sekitar 1-2 bulan yang lalu. Informasi pertama datang bukan dari portal berita atau televisi, melainkan informasi datang dari twitter dengan hashtag #infojogja. Jepret dikit langsung di-share ke twitter. Semua orang pun tahu kalau terjadi kebakaran di sana. So that’s is our world now. Because, You Are The Media.