Wednesday, 30 March 2011

interaksi, integrasi atau adu pengaruh

Beberapa mahasiswa baru datang ke kampusnya dengan sikap yang berbeda. Adalah salah seorang dari mereka yang berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah bersikap pasif dalam berinteraksi dengan lingkungan barunya. Cukup kontras dengan mahasiswa yang menurut keterangan dari sebuah kota besar di Barat pulau Jawa bersikap lebih terbuka dan fleksibel dengan lingkungan barunya. Ada apa dengan perbedaan pola interaksi antara mahasiswa kota besar dan desa? Walaupun tidak selalu absolut terjadi demikian, tetapi ini pola umum yang biasa kita temukan.
Sebenarnya ada apa dengan perbedaan latar belakang kita berasal dengan pola interaksi pribadi kita dengan orang lain? Karakter masyarakat orang kota pada yang biasa kita temui cenderung berpola individualistik dan asertif. Secara ekonomi orang kota pun identik dengan status menengah ke atas. Norma masyarakat yang dipegang umumnya sangat longgar sehingga norma biasanya diserahkan kepada self-control  masing-masing individu.
Di sisi lain, karakter orang desa kerap kali masih bercorak feodalistis. Pembagian kelas di masyarakat desa biasanya minimal memiliki dua tingkat. Tingkat yang berada ‘kasta’ atas biasanya ditempati oleh kepala desa atau aparatur desa dan orang yang memiliki penghasilan lebih banyak dibanding rata-rata orang sedesa. Di ‘kasta’ bawah ini biasanya diisi oleh masyarakat desa kebanyakan yang kegiatan ekonominya tidak terlalu besar dan tidak memiliki jabatan sosial tertentu. Terakhir, berlawanan dengan masyarakat kota yang semakin cenderung individualistik, masyarakat desa umumnya masih menganggap norma adalah sesuatu yang mengikat setiap tata perilaku mereka. Karena itu budaya seperti ewuh pakeweuh terus subur di desa. 
Pembagian ‘kasta’ ini memengaruhi banyak hal dalam interaksi masyarakat desa. Kasta yang berada di atas biasanya menganggap dirinya memiliki kekuatan tidak kasat mata. Ia memiliki sebuah prestise yang membuat dirinya lebih daripada orang lain. Budaya ‘kasta’ yang sederhananya adalah feodalisme inilah yang kerap kali menjadi barrier komunikasi antara dua kasta tadi. Setelah kasta atas selalu menganggap dirinya selalu benar, kasta bawah pun menganggap dirinya tidak memiliki banyak hak untuk berbicara banyak karena menganggap dirinya tidak sebaik orang lain. Takut jika ada interaksi yang tidak tepat, menyalahi norma, dan tidak dirasa berkenan oleh kasta atas. Model komunikasi linier.
Pola interaksi yang jauh berbeda berada di kalangan masyarakat kota yang sekali lagi cenderung bebas, individualistik, dan demokratis. Setiap orang dalam masyarakat umumnya memiliki hak untuk bersuara. Model komunikasi yang terjadi minimal dalam bentuk interaksional. Orang kota terbiasa dalam memberikan umpan balik dalam banyak perbicangan dan diskusi. Karena hal ini juga disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat kota yang tinggi sehingga sikap demokratis dan saling menghargai pendapat adalah sebuah nilai.
Lalu ada apa dengan keadaan interaksi mahasiswa asal desa dan kota? Latar belakang kita akan memengaruhi perilaku kita dengan orang lain. Bahkan dalam lingkup yang sangat mikro, keluarga misalnya, anak yang biasa dibentak oleh orang tuanya akan berperilaku sama kepada orang lain. Dari keluarga mana kita berasal, lingkungan rumah masa kecil ketika kita tumbuh besar, dan teman-teman sepergaulan kita sebelumnya membentuk field of experience yang sangat unik dan berbeda. Itulah mengapa pola interaksi kita akan sangat terpengaruh lingkungan kita.
Salah satu kata kunci yang sangat menjelaskan kenapa ada perbedaan pola interaksi adalah soal perbedaan makna dalam interaksi kita dengan orang lain. Ketika kita berhadapan dengan orang yang lebih kaya misalnya, sikap orang yang bertipe feodal akan mengannggap kekayaan membuat seseorang jadi lebih terhormat. Di lain orang, kekayaan tidak selalu menjadi sebuah elemen penting dalam memberikan rasa hormat. Ada perbedaan pemaknaan yang kita dapatkan dari perbedaan latar belakang dan lingkungan.
Barrier pola interaksi antara orang kota dan desa tentu saja tidak akan bisa kita hindari. Akan tetapi, interaksi antara kedua tipe orang inilah yang akan menyatukan field of experience yang dimiliki setiap orang. Kita semua melakukan konstruksi makna dalam interaksi dengan orang lain. Tentu saja selain itu interaksi harus berjalan transaksional agar masing-masing orang merasa dirinya dihargai. Interaksi tidak akan berjalan baik ketika salah satu pihak tidak memberikan feedback kepada lawan bicaranya.
Sebuah interaksi yang intens dan transaksional akan membantu setiap orang memahami lingkungan barunya dan keadaan orang lain. Persamaaan makna yang kita pertukarkan dalam interaksi akan menjadi bagian diri kita semua selanjutnya. Maka ketika orang desa dan kota mulai berinteraksi satu sama lain, masing-masing akan memahami posisi dan latar belakang lawan bicaranya. Ada saling berbagi pandangan umum tentang nilai dan pengalaman yang masing-masing miliki. Sehingga kemudian ada nilai baru yang terbentuk.
Persoalan siapa memengaruhi siapa dan siapa yang lebih dominan akan sangat bergantung kepada siapa yang berbicara dan kultur lingkungan kampus tempat mereka bertemu. Di saat mahasiswa tersebut memasuki kampus Fisip, lingkungan cenderung memberikan ruang kebebasan berpendapat kepada para mahasiswa. Kasus yang kontras akan terjadi ketika lingkungan tempat mereka berada di Fakultas Teknik. Di sana, sikap feodalisme yang biasa kita terjemahkan sebagai senioritas terasa kentara dalam pola interaksi antarmahasiswa dan dosen di Fakultas Teknik.
Dari perkembangan interaksi ini juga yang membuat konsep diri kita ikut berkembang. Konsep diri kita sebut sebagai kumpulan persepsi terhadap ke luar dan ke dalam dari diri kita. Apa yang kita anut selama ini dalam banyak aspek kehidupan kita dari mulai agama, norma, kebiasaan, dan lain-lain adalah urutan nilai yang telah membentuk konsep diri kita. Semakin lama kita hidup, selama itu pula konsep diri kita terus berkembang dari interaksi yang kita miliki dengan orang lain.
Saat seseorang berada di lingkungan yang baru, konsep diri yang ia miliki tentu saja belum tentu akan seirama dengan nilai yang dimiliki. Bahkan biasanya kita akan cenderung mengalami keterkagetan terhadap kondisi di luar konsep diri yang kita miliki. Istilah yang biasa gunakan untuk kasus ini, culture shock. Komunikasi transaksional itu lah nanti yang akan membuat seseorang memiliki konsep diri versi terbaru setelah nilai sosial di lingkungan baru telah terinternalisasi.
Terakhir, setelah konsep diri terus berkembang dan lingkaran pemahamannya semakin besar, perilaku kita pun akan berubah. Hal ini sangat wajar terjadi karena kita memiliki pemahaman baru yang secara langsung atau tidak akan memaksa kita melakukan penyesuaian. Ini semua tidak lain adalah proses dari kehidupan kita. Kita semua akan menyesuaikan diri kita sesuai dengan n ilai yang kita anut dan percaya.
Dari konsep diri yang baru, akan muncul sikap yang baru terbentuk dan ada sikap yang mulai kita coba hilangkan. Adalah sebuah hal yang tidak aneh ketika anak kecil bermanja-manja dengan orang tuanya. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya umur kita, konsep diri kita soal bermanja-manja pasti akan berubah menjadi mandiri. Dari interaksi dengan orang lain, kita punya konsep bahwa semakin besar diri kita maka kita harus semakin mandiri. Kesadaran akan pandangan ini akan menjadi sebuah konsep diri dan termanifesto dengan pola perilaku kita untuk jadi lebih mandiri dari diri kita yang dahulu.
Maka mahasiswa kota dan desa pun akan mengalami proses perubahan konsep diri yang kira-kira sama. Ketika masih dalam masa adaptasi dengan lingkungan studi dan teman-teman baru semua terasa malu-malu dan canggung. Setelah interakasi interaksional dan transaksional terjadi maka kita mulai saling sharing tentang status diri, dan lain-lain. Lingkungan kampus kemudian menjadi salah satu kunci selain interaksi dalam membentuk konsep diri. Tindak-tanduk yang muncul kemudian adalah sebuah hasil proses dari proses panjang tersebut. Entah orang desa yang menjadi asertif atau malah orang kota menjadi feodal. 

No comments:

Post a Comment