Saturday, 9 April 2011

Jejak Sejarah Majalah Indonesia

Ada banyak versi kapan pertama kalinya pers dalam bentuk majalah muncul untuk pertama kalinya dalam konteks keIndonesiaan. Menurut Ahmad Husein, seorang penulis dan pemerhati media, karya jurnalistik pertama dikeluarkan oleh kelompok Indische Bond yang bernama Bondsblad. Majalah Indische Bond tersebut digunakan untuk menyuarakan kritik atas kebijakan politik yang dilancarakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Majalah tersebut tentu bersaing dengan banyak pers milik pemerintahan kolonial Belanda saat itu. karena tentu saja pers kolonial sudah berkembang lebih dahulu dari pers lokal. Belanda lewat kongsi dagangnya, VOC, pertama kali membawa mesin cetak ciptaan Guttenberg pada abad 17. Mesin cetak tersebut pada awalnya digunakan secara ekslusif untuk kepentingan VOC. Baru pada abad 18 mesin cetak diperbolehkan untuk digunakan dalam kegiatan pers.
Bondsblad sebenarnya tidak cukup dikenal sebagai pelopor pers Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Dalam banyak literatur, kita akan banyak temukan bahwa pers lokal pertama saat itu adalah Medan Prijaji yang didirikan oleh RM Titro Adhi Soejo pada tahun 1907. Medan Prijaji adalah sebuah hasil dari pengalaman Tirto bekerja di salah satu surat kabar kolonial berbahasa melayu Pembrita Betawi.
Pada awal abad dua puluh, bentuk media cetak sangat identik dengan koran, tetapi dalam sirkulasinya masih berkala seperti majalah. Hal ini bisa kita maklumi karena keadaan politik dan kemajuan teknologi tidak sekondusif dan semaju sekarang. Akan tetapi, hal ini mempersulit kita untuk melakukan identifikasi jenis media spesifiknya. Setidaknya, kita bisa simpulkan di Indonesia majalah dan surat kabar memiliki jejak pers yang sama. Diferensiasi majalah dan surat kabar baru bisa terlihat jelas setelah kemerdekaan Indonesia.
Douwess Dekker kita kenal sebagai salah satu pendiri surat kabar legendaris, De Expres. Kita semua tahu bahwa De Express adalah media massa rintisan kelompok Indische Partij yang digawangi oleh Douwes Dekker, Suwardi Soerjadiningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Sebenarnya, Douwes Dekker Sebelum menerbitkan De Express terlebih dahulu menerbitkan majalah dwi mingguan Het tajdeschrift pada tahun 1910. Majalah ini sangat mirip dengan karakter De Exprees yang ia terbitkan dua tahun berikutnya. Tulisan di majalah tersebut sarat dengan kritik dan provokasi melawan pemerintahan kolonial belanda.  Setelah De Express dibredel, giliran Suwardi Soerjadiningrat dan Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan media cetak baru, Hindia Poetra dan De Indier. Khusus untuk Hindia Poetra, majalah ini menggunakan dua bahasa pengantar: Belanda dan Melayu.
Balai Poestaka, salah satu penerbit tertua, juga menerbitkan beberapa majalah untuk rakyat, antara lain Majalah Pandji Poestaka, Majalah Kedjawen, dan Parahijangan, majalah anak-anak berbahasa Melayu Taman Kanak-Kanak, dan yang berbahasa Jawa Taman Botjah. Majalah-majalah lain yang terbit dalam kurun ini antara lain: Fikiran Rakjat milik Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Daulat Ra’jat(diterbitkan Bung Hatta). Lalu, muncul pula Majalah Weekblad Sin Po tahun 1923 yang merupakan terbitan grup Sin Po. Di majalah mingguan ini pula naskah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman untuk pertama kalinya dimunculkan.(Husein 2006)

Tercatat, hinggga tahun 1920-an, sudah ada 127 majalah dan surat kabar. Setelah era ini, masih ada lagi majalah tri wulanan De Chineesche Revue (1927), Timboel (membahas soal budaya, tahun 1930-an), hingga Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan (diasuh HAMKA), serta Pandji Islam
. Dari segi bisnis, disebutkan bahwa mutu kebanyakan majalah masih amat rendah, mengingat situasi yang tak memungkinkan perolehan iklan waktu itu. (Husein 2006)
Pada zaman Jepang, majalah atau surat kabar tidak lagi mungkin beroperasi. Tipikal Jepang yang otoriter membuat mereka melakukan integrasi media dengan pemerintahan. Maka di tiga setengah tahun rezim Jepang, media-media cetak yang sudah ada sebelumnya dilarang beroperasi kembali digantikan dengan media bentukan Jepang.
Para bumi putera yang tadinya bekerja untuk medianya masing-masing, kebanyakan menjadi operator media yang disetir oleh Jepang. Namun begitu, tokoh-tokoh seperti Adam Malik, BM Diah, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, nantinya akan menikmati pengalaman bekerja secara teknis bagi Jepang ini, karena setelah revolusi kemerdekaan, kemudian Adam Malik mendirikan lembaga kantor berita Antara, BM Diah membuat suratkabar Merdeka , Rosihan Anwar mendirikan surat kabar  Pedoman dan mingguan Siasat , dan terakhir Mochtar Lubis dengan suratkabar Indonesia Raya .(Alvin 2011)
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia dan munculnya zaman demokrasi liberal pada tahun 1950-an, stabilitas nasional membuat semua jenis media bisa kembali bernafas. Di sisi lain, kelancaran teknis operasional media dan banyaknya kelompok politik yang terbentuk membuat mereka merasa harus memiliki corong media masing-masing. Hal ini sangat wajar terjadi karena tahun 1955 negara ini mengadakan pemilu perdana dan setiap partai politik tentu harus melakukan kampanye via media cetak.
Salah satu majalah yang sangat terlihat segmentasinya pertama kali adalah majalah Horison yang diterbitkan tahun 1966. Majalah yang didirikan oleh Mochtar Lubis, P.K Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail mengkhususkan majalah mereka ke ranah sastra. Majalah Horison memang bukan jenis majalah yang sering kita lihat di rak-rak toko buku. Setidaknya majalah Horison sudah ada dalam bentuk online dan bisa kita akses lewat internet.
Tahun 1971 Majalah Tempo pertama kali muncul ke publik. Artikel berita mereka pertama  berbicara soal cedera atlet bulu tangkis, Minarni, di Asean Games Bangkok. Majalah Tempo muncul dengan modal awal dua puluh juta rupiah yang berasal dari Yayasan Jaya Raya milik pengusaha Ciputra. Selain Tempo, majalah-majalah lain ikut bermunculan pascaruntuhnya Orde Lama. Jenis segmentasi majalah pun semakin beragam. Majalah keluarga seperti Femina atau majalah perempuan remaja Kawanku adalah dua contoh majalah yang muncul ke publik saat Soeharto sedang berkuasa.
Afiliasi majalah dengan salah satu kekuatan politik seperti di Orde Lama saat itu sudah mulai pudar. Industri majalah di Indonesia bergerak ke arah yang lebih komersial di zaman Orde Baru. Hal ini tidak aneh karena secara umum tingkat pendapat masyarakat pun meningkat.
Masih di era Soeharto, saat itu media dalam bentuk apapun kerap mengalami keadaan yang dilematis. Khususnya media yang berbentuk hard news, soft news, dan feature sangat rentan jika berbicara apapun yang negatif dan nyerempet dengan Soeharto, pemerintahan dan kabinet, dan partai Golkar. Implikasinya sangat fatal. Media yang bersangkutan akan terancam dicabut surat izin penerbitannya atau yang biasa kita sebut SIUPP.
Majalah Tempo sendiri pernah dua kali mendapat ‘hadiah’ bredel dari Departemen Penerangan. Kasus pertama di tahun 1982 Tempo sempat tidak dibolehkan terbit hanya karena meliput kampanye Partai Golkar yang berakhir rusuh. Di kasus ke dua, Tempo kali ini ditemani dengan majalah Editor dan Detik bersama-sama dihadiahi surat pencabutan izin terbit. Berita kontroversial yang diberitakan saat itu soal skandal pembelian pesawat tempur eks Jerman Timur oleh Habibie.
Pembredelan ketiga majalah tersebut ternyata melahirkan demonstrasi berdarah pada 27 Juni 1994 oleh para aktifis, mahasiswa, dan buruh. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia pun ikut bergolak. Beberapa jurnalis seperti Ahmad Taufik, Dita Indah Sari, dan lain-lain kemudian berinisiatif mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Organisasi baru ini sebagai simbol perlawanan terhadap PWI yang dianggap dalam dekapan pemerintah.
Setelah Soeharto turun dan bola reformasi terus bergulir SIUPP yang menjadi syarat utama penerbitan media ikut dihilangkan. Maka industri majalah pun kembali menemukan momentum untuk melesat sekali lagi. Jumlah majalah yang beredar kini di masyarakat meningkat pesat tanpa ada satu pun instrumen pemerintahan yang berhak mengatur izin penerbitan. Majalah Tempo yang pernah dibredel pun kembali terbit.
Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini, majalah pun terus menyesuaikan tampilannya sehingga semakin lama semakin menarik. Majalah saat ini juga menjadi salah satu simbol gaya hidup atau identitas seseorang. Contohnya majalah Annida eberapa tahun yang lalu sempat menjadi ikon majalah remaja muslim. Identitas yang dibawa majalah Annida membuat banyak yang memiliki kemiripan identitas membeli majalah tersebut.
Seperti halnya media lain, media apapun yang dulu dipakai sebagai media perjuangan, berubah menjadi konglomerasi media. Banyak konten media sudah sangat profit oriented. Pergeseran nilai yang sangat nyata ini telah menjadi fakta sosial yang sulit kita pungkiri.  [akang dewan]

Daftar Pustaka 
Rahzen, [et. al.]. 100 Jejak Pers Indonesia. Jakarta: I:BOEKOE, 2007.

http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/07/sejarah-majalah-tempo-konflik-dan-pembredelan/ (diakes pada 1/4/2011 pukul 13.24)

 



No comments:

Post a Comment