Wednesday 19 January 2011

Mahasiswa, Idealisme, dan Sikap

Mahasiswa, Idealisme, dan Sikap
by Arief Rahman on Thursday, 20 January 2011 at 11:08
Masihkah kita ingat status anda, saya, kita semua sebagai mahasiswa? Seperti apakah seharusnya menjadi mahasiswa? Dan apa peran yang harus dimainkan oleh mahasiswa di masyarakat? Terakhir, adakah minimal salah satu pertanyaan tadi kita ingat, pertanyakan, dan renungkan oleh diri kita sendiri. Sesuai kaidah ilmu sosial kalau tidak ada yang absolut, maka tentu tidak semua mereka yang berstatus mahasiswa ingat pertanyaan tadi.

Sering kali kita dengar kalimat “Mahasiswa adalah agent of change.” Entah berapa juta kali kita mendengar atau bahkan berbicara soal kalimat tadi. Lalu, adakah kita benar-benar sadar frase agent of change dalam kehidupan sehari-hari kita? Pernahkah kalimat itu menginspirasi kita dalam suatu kegiatan kampus misalnya, di luar forum-forum diskusi bertema kemahasiswaan.

Setiap mahasiswa seharusnya selalu berpegang teguh kepada idealismenya. Idealisme mahasiswa lah yang membuat mahasiswa tidak sekedar belajar melewati fase akhir proses pendewasaan. Idealisme yang dianut oleh mahasiswa tidak berarti harus bertentangan dengan kelompok yang berkuasa. Akan tetapi, idealisme seharusnya adalah sebuah gagasan, cara berpikir, dan perilaku yang mendambakan sebuah keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ane pernah denger sebuah anekdot atau apalah istilahnya lupa: jika tanpa idealisme, apa istimewanya mahasiswa?

Mahasiswa harus selalu berada di garda terdepan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Pemerintahan manapun dan siapapun akan selalu butuh fungsi kontrol. karena seperti yang kita semua tahu, power tends to corrupt. So, student college must protect the power from corruption.

Ya, betul, ada lembaga yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat yang katanya menjalankan fungsi kontrol atas pemerintah. Akan tetapi, itu bukan berarti mahasiswa tidak punya tempat atau tidak layak melaksanakan fungsi kontrol. Justru di sinilah peran mahasiswa melengkapi sistem demokrasi yang kita gunakan. Setiap kelompok memiliki tautan politik yang berbeda. Jika DPR berada dalam tataran formal. Maka mahasiswa mengambil peran di sektor informal.

Kita pun harus belajar banyak dari sejarah, bagaimana pemerintahan negeri ini berproses dalam jatuh bangunnya penguasa. Mari kita lihat para angkatan tahun 60-an dan 90-an yang telah membuat negeri ini terlepas dari ‘monarki’ buatan Soekarno dan Soeharto. Adalah mereka senior-senior saya dan kita semua yang luar biasa itu telah menunjukkan sebuah idealisme menentang rezim yang dzalim. Mereka mengambil sikap atas dasar idealisme. Sikap yang sebenarnya membuat diri mereka terancam todongan pistol penguasa.

Demonstrasi adalah satu-satunya tautan politik yang mahasiswa punya. Senior-senior kita menggunakan instrumen tersebut untuk menunjukkan sikap menentang kelakuan kotor rezim soekarno dan soeharto. Maka setidaknya setelah kemerdekaan, sejarah mencatat demonstrasi mahasiswa, sebagai perwujudan idealisme mereka, telah dua kali merubah arah negeri kita, Indonesia.

Kita semua yang kini menyandang status sebagai mahasiswa berada dalam zaman reformasi tanpa tekanan represif penguasa. Kita semua memiliki kebebasan untuk bersikap dan berbicara di semua jenis media massa. Pertanyaannya, adakah kita memang masih peduli dengan keadaan bangsa ini atau justru sibuk sendiri dengan urusan kuliah tanpa ingin mencampuradukkan keduanya?

Inilah yang saya pribadi lihat sebagai titik permasalahan kita bersama. Banyak sekali mahasiswa yang saat ini cenderung bersikap ‘masa bodoh’ dengan keadaan bangsanya. Masalah mahasiswa berkutat pada diri mahasiswa sendiri dan lupa kalau salah satu tanggung jawab mereka adalah kontribusi pada masyarakat. Demonstrasi mungkin benar bukan satu-satunya media perjuangan zaman sekarang. Ada banyak saluran lain untuk tunjukkan sikap dan idealisme kita bersama.
Saat ini, bangsa Indonesia tetap punya segudang masalah kultural dan struktural. Kultur korupsi warisan zaman Soekarno dan Soeharto masih terlalu melekat  di institusi negara. Sialnya kultur korupsi yang kini banyak disoroti terjadi justru di institusi penegakan hukum, Polisi, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

Ditambah lagi jika kita biacara soal pajak, kasus Gayus yang kini telah divonis tujuh tahun adalah bukti konkret adanya pat gulipat di tubuh institusi yang pekerjaannya menyedot uang rakyat secara legal. Akan tetapi, mari kita renungkan,
Gayus saja yang pegawai golongan IIIA bisa dapet uang uang miliaran terlepas itu suap atau korupsi. Apalagi atasannya, eselon III, II, I, dan bos besar kantor gayus, Dirjen Pajak.

Kalau kata mas eep saefullah fatah soal masalah struktural: “struktur kita yang telah diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Hal inilah yang sering disebut orang sebagai Republik Dracula yaitu segala struktur di dalam republik tersebut justru menjadi para penghisap darah yang menggerogoti habis segala sendi-sendi dalam negara tersebut.”

Maka akhirnya marilah kita sadar. Mari kita semua membuka mata terhadap seluruh masalah bangsa Indonesia. Mulai dari kemiskinan, korupsi, penyelewengan jabatan, dan segudang masalah lain. Kemudian pandangi diri kita masing-masing,  apa sikap saya atas semua masalah bangsa saya? Apa yang bisa saya lakukan dan berikan sebagai mahasiswa? Apa langkah yang harus saya tempuh untuk menjadi bagian solusi? bukan tenggelam menjadi bagian dari masalah bangsa ini.
Ya, apa?

Daftar Pustaka