Wednesday, 2 February 2011

Menghimpun Sepotong Sejarah Gedung Agung Yogyakarta

Luasnya wilayah Indonesia membuat pemerintah Hindia Belanda harus membuat struktur hierarkis di daerah. Kantor perwakilan di setiap daerah kemudian menjadi suatu kebutuhan sentral. Maka dibagilah daerah-daerah menjadi banyak residen. Sebuah corak birokrasi yang secara tidak langsung memberikan wawasan tentang birokrasi modern kepada bangsa Indonesia.
Pada saat pemerintahan Daendels dan Raffles, corak birokrasi dibuat sangat liberal seperti yang dilakukan di negara asal mereka berdua. Akan tetapi, semua berubah setelah Belanda kembali memegang tampuk penjajahan setelah serah terima wilayah jajahan di Konferensi London. Corak birokrasi Indonesia didesain kembali bersifat feodal. Belanda mengerti betul bahwa masyarakat Indonesia belum cocok dengan hal yang terlalu modern. Sehingga sifat dan watak feodalisme orang Indonesia menjadi bagian birokrasi yang dibangun Belanda sejak tahun 1816.
Salah satu dari kebutuhan birokrasi adalah kantor pemerintahan yang permanen. Kebutuhan ini terasa sangat mendesak seiring dengan bertambahnya tahun. Gedung yang akan dibangun nanti tidak sekedar untuk menjadi kantor karasidenan. Gedung yang akan dibangun juga ingin dibuat untuk memamerkan kemewahan. Memberikan sugesti hegemoni kepada masyarakat luas bahwa kekuasaan Belanda itu sangat hebat.
Maka pada tahun 1823 Residen Yogyakarta kedepalapan belas, Anthonie Hendrik Smissaert mengusulkan untuk membangun gedung tersebut. Maka kemudian ditunjuklah seorang pelukis lanskap, Antoine Payen, untuk mengepalai pembangunan gedung megah milik Karasidenan Yogyakarta. Dia mendesain gedung itu dengan gaya eropa yang menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Gaya eropa yang dibangun di Gedung Agung sangat terlihat dari bentuk pintu dan jendelanya yang tinggi dan besar.  
Akan tetapi, pembangunan kantor sekaligus kediaman Residen Yogyakarta usulan Residen Anthonie Hendrik Smissaert harus dihentikan untuk sementara waktu. Hal ini dikarenakan Pangeran Dipenogoro mengumumkan perang melawan pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1925. Padahal pembangunan kantor karasidenan itu baru dimulai setahun sebelumnya.
 Sang Arsitek
Antoine Prancis adalah seorang pemuda kelahiran Prancis tahun 1792. Ia pertama kali menginjakkan kakinya di Hindia Belanda tepatnya di tanah jawa pada tahun 1816. Kedatangannya bersama para juru gambar Bik Bersaudara, Jan Bik dan Theodore Bik.
Antoine Payen dikirim oleh pemerintahan Belanda untuk menjadi pelukis lanskap di Hindia Belanda. Pengalamannya tentang seni lukis cukup diakui pemerintah. Riwayat pendidikannya sangat bagus dan membuat Belanda mau membiayai Antoine Payen berangkat.
Sebelum pergi ke Hindia Belanda, Antoine Payen yang berbakat, serba bisa, dan adaptif ini sudah lebih dahulu mempelajari teknik dasar seni lukis di Belgia. Ia sempat belajar di Academy of Drawing, Belgia, yang ketika itu dipimpin oleh Piat Jospeh Sauvage, seorang pelukis yang sebelumnya sempat belajar di Academic Royal de Paris serta sempat pula bergabung dengan gerakan massa dalam Revolusi Prancis. (http://bit.ly/f0q9po /perjalanan/112-payen.html diakses pada tanggal 4/1/2010 pukul 23.37)
Di hindia Belanda, Antoine Payen dikenal ramah dan simpatik. Ia memperoleh posisi dan status sosial yang sangat baik di Hindia Belanda. Status sosial yang ia dapatkan didukung tergabungnya Antoine Payen dengan kolompok kecil orang-orang terpelajar yang berada di lingkaran terdekat Gubernur Jenderal Van der Capellen. Hak istimewa yang dimiliki oleh Antoine Payen membuat dirinya bisa berkunjung ke beberapa tempat di Nusantara yang terletak cukup jauh dari pulau Jawa. Bersama dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen, ia mengunjungi Maluku dan Sulawesi.
Saat berkunjung ke Maluku itulah ia melukis lanskap pelabuhan Ternate. Adi karyanya itu terpampang manis sebagai sampul buku Ibu Maluku: The Story of Jeanne van Diejen karya Ron Heynmann. Hasil lukisannya sangat bagus dan menjadi pembuktian bahwa Belanda tidak salah kirim seorang pelukis lanskap.
Lukisan Antoine Payen lanskap pelabuhan Ternate
Sumber: http://bit.ly/frCSPi

Kepergian Antonine Payen menuju Hindia Belanda, memang memberikannya banyak pengalaman berharga. Pergi jauh merantau ke tempat lain tentu memberikannya kehidupan yang sangat berbeda dengan kampung halamannya. Eksotisme nusantara membuat dirinya tersihir dan kerasan tinggal di Hindia Belanda.
Akan tetapi, Antoine Payen pun akhirnya harus pulang ke Eropa. Setelah satu dekade meninggalkan tunangannya, Antoine Payen pulang untuk memenuhi janji untuk menikahi wanita tersebut. Dua tahun setelah merancang istana agung Jogja, pada 1926 tepatnya, ia pulang ke Eropa. Malangnya, sebelas bulan pasca pernikahan, istrinya Pauline menemui ajalnya sebelas bulan pasca ia melahirkan seorang anak untuk Antoine Payen.
Loji kebon
Pada zaman Belanda, Gedung Agung bernama Loji Kebon. Sebutan itu adalah sebuah potret keadaan Gedung Agung saat itu. Disebut demikian karena dahulu Gedung Agung memiliki halaman yang sangat luas. Tidak hanya luas, halaman Gedung Agung pun juga teratur dan indah, sehingga rasanya tepat sekali jika disebut Loji Kebon.
Setelah masa Perang Jawa berakhir, para residen kemudian menempati Loji Kebon pada tahun 1832. Mereka memindahkan kantor karasidenan dari sebelumnya di Loji Bulu.  Akan tetapi, sebenarnya Loji Kebon belum sepenuhnya rampung. Beberapa bagian masih dalam tahap pembangunan hingga akhirnya selesai pada tahun 1869. 
    
  Gedung Agung   
Sumber: http://bit.ly/gEr78d

Pada tanggal 1867, pembangunan Gedung Agung kembali terhambat. Hal itu dikarenakan gempa bumi yang terjadi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa bumi tersebut berdampak pada runtuhnya beberapa bangunan Loji Kebon. Maka sebenarnya bangunan Loji yang rampung pada tahun 1869 sejatinya adalah bangunan yang sama sekali berbeda dengan yang dibangun pada tahu 1824.
Keberadaan Loji Kebon dan Benteng Vredeburg memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Benteng Vredeburg adalah simbol kontrol terhadap pemerintahan keraton Yogyakarta. Sedangkan Loji Kebon adalah simbol pemerintahan Hindia Belanda. Pengakuan Belanda terhadap eksistensi keraton diimbangi dengan campur tangannya dalam tata pemerintahan. Penempatan Loji Kebon dan Benteng Vredeburg juga sengaja berada tidak jauh dari komplek keraton. Hal itu agar pihak keraton mudah diawasi dari kedua gedung Belanda tersebut.
Ricklefs juga menyebutkan dalam disertasinya berkaitan dengan Kesultanan Yogyakarta kalau Sultan Hamengkubuwono tak bisa leluasa bertindak. Bahkan termasuk keharusan meminta izin lebih dahulu jika hendak keluar dari Kutaraja. Pembangunan Vrerdeburg dan Gedung Agung itu direspons oleh pihak keraton dengan menanam banyak pohon asem di sekitar alun-alun utara agar ‘sedikit’ terhalang.
Pada tahun 1912, Loji Kebon dipandang memiliki lahan yang kelewat luas. Sehingga ada inisiatif dari pemerintahan Hindia Belanda untuk mengurangi sedikit lahan Loji Kebon untuk keperluan lain. Hal ini dikarenakan pekarangan Loji Kebon terlalu menjorok ke sebelah utara. Lahan di sebelah utara pun kemudian dialihfungsikan menjadi sekolah bagi gadis eropa. Sekolah gadis itu kemudian dinamakan, Iste Europeesche lagere meisjes school. Walaupun pada akhirnya sekolah untuk gadis eropa tersebut tidak bertahan lama dan ditutup pada tahun 1930.
Setelah sekolah gadis eropa dinonaktfkan, bekas gedungnya digunakan kembali sebagai sekolah. Kali ini Belanda menggantinya dengan sekolah dasar pertama untuk anak Ambon, Iste Europeesche Lagere Ambongsche. Sekolah tersebut mampu bertahan selama 12 tahun hingga tahun 1942 bersamaan dengan berakhirnya penjajahan Hindia Belanda yang direbut oleh pasukan militer Jepang. Pada akhirnya gedung tersebut dipakai sebagai Sekolah Dasar Ngupasan 1 hingga saat ini.
Ada fenomena yang menarik selama gedung sekolah itu digunakan sebagai sekolah dasar untuk anak ambon. Fenomena tersebut adalah setiap masuk dan pulang sekolah murid-murid asal Ambon itu harus dikawal ketat oleh serdadu KNIL. Hal itu dikarenakan anak-anak Ambon tersebut terkenal sangat berandal dan sulit diatur. Maka muncul inisiatif untuk membuat pengawalan khusus bagi murid-murid yang bersangkutan.
Pada awalnya murid-murid berbaris panjang dan dikawal minimal tiga serdadu KNIL tiap barisan. Akan tetapi, walaupun sudah dikawal ketat, kejar-kejaran antara murid Ambon dengan tentara tetap seringkali terjadi. Bahkan serdadu KNIL pernah melakukan hal yang sangat ekstrem bagi para murid sekolah Iste Europeesche Lagere Ambongsche. Setiap murid dalam barisan diikat dengan tali tampar yang panjang. Ikatan tali yang membuat murid-murid Ambon itu tidak bisa melawan. Tindakan ekstrem itu dilakukan mungkin dikarenakan tentara KNIL itu sangat kewalahan mengurus mereka sehingga terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi.  
Pemerintahan Hindia Belanda juga mengurangi sebagian lahan Loji Kebon untuk dijadikan lahan pembangunan gedung pengadilan negeri. Akan tetapi, fungsi gedung sebagai pengadilan negeri tidak bertahan lama. Fungsi gedung kemudian berubah menjadi untuk pengadilan ngupasan atau dalam bahasa populernya, rumah gadai. Niat pemerintah Belanda mengalihfungsikan gedung tersebut menjadi rumah gadai agar bisa menolonng masyarakat yang butuh uang tunai untuk keperluannya. Rumah gadai tersebut juga berfungsi memberikan kredit ringan untuk memberantas ijon[1] dan lintah darat yang kerap menindas masyarakat.
Di sebelah selatan gedung utama, terdapat tempat yang berfungsi sebagai pusat hiburan bagi orang Belanda dan bangsawan, yaitu gedung Societet der Vereniging atau Balai Pertemuan Persatuan. Orang-orang Indonesia biasa menyebutnya kamar bola. Disebut begitu karena banyak orang-orang Belanda datang pada akhir pekan untuk bermain bowling. Mereka menerjemahkan bowling ini sesuai dengan lafal bahasa melayu, bola.

Gedung seni-sono

sumber: http://bit.ly/fFj2Xl


Setiap akhir pekan gedung Societet der Vereniging ramai dikunjungi.  apalagi jika para pegawai tersebut telah terima gaji dari pemerintah. Pada masanya, gedung tersebut terbilang memiliki fasilitas hiburan yang cukup lengkap. Di sana pengunjung bisa datang untuk bermain musik dan berdansa. Selain itu, ada juga berbagai fasilitas untuk rowlette, judi balap kuda, dan lain-lain.
Tempat hiburan itu pun ternyata tidak lama usianya. Sebab, inggris datang dan mengebom gedung Societet der Vereniging ketika pihak sekutu ikut menyerang untuk merebut wilayah Indonesia dari Jepang. Maka gedung pun hancur dan hanya menyisakan schouwburg (panggung utama) di bagian depan ruangan. Sisa bangunan yang dibom kemudian dibangun kembali menjadi gedung seni-sono.
Keberadaan Arca
Di dalam komplek Gedung Agung, terdapat banyak sekali arca-arca dan patung dewa dalam terminologi agama Hindu dan Budha. Di sana didapati beberapa Arca Ganesha, Arca Dwarapa, dan masih banyak lagi jenis patung yang namanya pun tidak ketahui oleh guide istana. Hal ini terlihat aneh karena Hindu dan Budha adalah agama yang dianut oleh orang Indonesia bukan Belanda. Lalu, kenapa ada banyak arca-arca Hindu dan Budha di Gedung Agung?
Diperkirakan, sebagian dari arca tersebut dulunya merupakan koleksi meneer-meneer Belanda penghuni awal Gedung Agung. Menurut keterangan Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, arca-arca kuno itu kemungkinan besar berasal dari dataran Prambanan dan dataran Sorogedug. Kemudian artefak-artefak kuno itu diangkuti ke Statiran (Rumah kediaman Administratir) di Yogyakarta (Candi-candi di Sekitar Prambanan, 1974). Sepeninggal Belanda, artefak-artefak kuno itu dibiarkan di sana hingga kini. (Djulianto Susantio, 2010)
Koleksi-koleksi arca di Gedung Agung hingga saat ini cukup banyak dan tersebar di beberapa titik komplek Gedung Agung. Di dekat pintu gerbang Gedung Agung terdapat Arca Dwarapa setinggi dua meter. Di halaman depan istana juga terdapat beberapa arca yang mengelilingi tiang bendera. Staff rumah tangga istana juga mengonsentrasikan beberapa arca yang berserakan di banyak tempat ke samping Gedung Seni Sono.  
Di salah satu sisi Halaman istana depan gedung utama juga terdapat monumen Dagoba. Monumen ini tingginya sampai 3,5 meter dan terbuat dari batu andesit. Dagoba berasal dari Desa Cupuwatu, di dekat Candi Prambanan. Orang yogyakarta menyebutnya Tugu Lilin karena tampak seperti lilin yang senantiasa menyala. Lilin tersebut melambangkan kerukunan beragama antara Hindu dan Budha. Agama Hindu Siwa diwakili oleh lambang lingga yang menopang stupa. Adapun stupa sendiri sebagai simbolisasi agama Budha. 


Tugu lilin Foto: Danastri

Pada akhirnya Gedung Agung atau Loji Kebon masih memiliki cerita panjang yang banyak dari kita belum ketahui. Minimnya data sejarah lebih-lebih saksi mata sejarah adalah pekerjaan rumah kita bersama. Jikalau Yogyakarta sedang bergejolak soal penetapan sultan berikut klaim sejarahnya, maka kesadaran masyarakat akan pengetahuan sejarah akan semakin tinggi. Sehingga Gedung Agung pun harus berbenah untuk terus melengkapi data sejarah yang berkenaan dengan Gedung Agung. Agar pengunjung yang berdatangan melakukan studi ke sana tidak kesulitan mencari info sejarah Gedung Agung yang komprehensif.

[1] secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang. (http://bit.ly/gBP72B diakses 6/7/2011 pukul 10.55)

Daftar Pustaka

Artha, Arwan Tut. YOGYAKARTA TEMPO DOELOE, Sepanjang Catatan Pariwisata. Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000.
 Booklet Istana Presiden Republik Indonesia, 2010.


Daftar referensi internet
http://bit.ly/gbF8St diakses pada 6/1/2011
(http://bit.ly/f0q9po /perjalanan/112-payen.html diakses pada tanggal 4/1/2010 pukul 23.37)
http://www.presidenri.go.id/istana/index.php/statik/profil/istana/yogya.html






No comments:

Post a Comment