Sedikit poin yang didapatkan dari seminar media matters, PEKOM UI 2011
Mbak Dian Noeh Abu Bakar, Senior Vice President, Weber Shandwick / Indonesia.
Saat ini kita berada dalam zaman new media yang sangat dinamis dibanding dengan conventional media. Perbedaan paling kentara di soal flat society yang sama-sama kita rasakan saat ini. Bersama new media kita tanpa sadar memiliki akses langsung ke banyak orang-orang yang secara logika old media tidak akan atau minimal sulit terjangkau. Dengan menggunakan twitter, khususnya, kita bisa saja follow orang-orang terkenal sesuka hati kita. Dunia yang seakan-akan vertikal terhadap orang-orang di pemerintahan atau idola kita, menjadi flat tanpa hambatan.
Ya, karena itu juga kita mudah sekali memengaruhi atau dipengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu. Memang ada teori kampanye sosial atau apalah. Akan tetapi, minimal, channelnya sudah tersedia. New media kini telah melahirkan: online shape offline. Koin untuk prita dalam skala nasional dan gelombang demokratisasi di timur tengah dalam skala internasional adalah bukti konkret adanya pengaruh new media ke dalam kehidupan riil manusia.
Bahkan kini, hanya dengan twitter seseorang yang menjadi public figure, wartawan bisa saja mengambil twit-nya menjadi beberapa paragraf berita. Benarkah? Itu fakta. Ada dua kasus yang saya ketahui. Pertama yang diulas oleh mbah diah, setelah timnas Indonesia kalah tandang 3-0 oleh malaysia Irfan Bachdim menulis di twitternya, “Ih, sebel deh kalah,” (kira-kira begitu). Hanya dengan twit sederhana itu seorang juru berita berhasil membuat tiga paragraf berita. Kasus kedua dari peristiwa Angelina Sondakh yang beberapa waktu lalu baru saja kehilangan suaminya. Sekitar tujuh hari setelah wafat, enji, panggilan akrab beliau, menulis di akun twitternya, “aku masih belum bisa ikhlas atas kepergian Mas Adjie.” (intinya begitulah). Hanya dari itu, beberapa acara infotainment dansi tus berita detik, kalau ga salah, membuat berita soal kesedihan si Angelina Sondakh.
Kalau dulu wartawan mendapat berita hanya dari press release dan sesi tanya jawab yang disediakan. Karena komunikasi media konvensional cenderung satu arah. Akan tetapi, saat ini wartawan bisa menjaring informasi dari semua arah untuk memproduksi sebuah berita. Wartawan akan menjaring berita dari semua arah yang bisa ia capai. Dari blog orang, dari obrolan di twitter, press release, dan lain-lain.
New media saat ini tidak hanya menjadikan rintangan komunikasi kita menjadi flat, tetapi juga men-trigger pola komunikasi masyarakat kita menjadi bersifat partisipatori. Budaya komunikasi dua arah kini mulai menjadi budaya dan memang dengan itulah kita membangun komunikasi kita. Komunikasi dua arah itu pula yang membuat speed informasi menjadi sangat luar biasa cepat. Kita mulai tidak terbiasa dengan kedalaman berita. Karena dengan twitter, kita umumnya hanya tahu deadline berita saja.
Di zaman new media ini, banyak dari kita yang menjalankan profesi, sadar atau tidak, sebagai citizen journalism. Arus informasi yang begitu deras dari masyarakat akar rumput membuat tingkat kepercayaan kita terhadap banyak orang, bahkan yang kita tidak kenal, menjadi tinggi. Saya teringat ketika mal ambarukmo plaza terbakar sekitar 1-2 bulan yang lalu. Informasi pertama datang bukan dari portal berita atau televisi, melainkan informasi datang dari twitter dengan hashtag #infojogja. Jepret dikit langsung di-share ke twitter. Semua orang pun tahu kalau terjadi kebakaran di sana. So that’s is our world now. Because, You Are The Media.
No comments:
Post a Comment